Kemenperin dan STMI

E-Learning | Sekolah Tinggi Manajemen Industri

EFEKTIFITAS PENGAWASAN TERHADAP PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

Download Lampiran Disini

EFEKTIFITAS PENGAWASAN TERHADAP PENGELOLAAN  KEUANGAN NEGARA : STUDI KASUS  PENGAWASAN OLEH PEMERIKSA KEPOLISIAN, KEJAKSAAN, DAN KPK   TERHADAP PENYIMPANGAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

 

 

Charles Bohlen Purba

 Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Email : bohlenpurba@yahoo.com)

 

Abstrac: In the middle of the concerns the fact limited budget and demands repair the welfare of the people the indonesian nation still not able to manage finance country well.  BPK show deviations in financial countries around Rp.650,298 trillion for the period 2007 until the first half of 2011. The number of these investigated and prosecuted law enforcement officials increased up 822 and 662 case in the year 2007 to 2.603 and 1.755 case in 2010, but declines in 2011 each 1.837 and 954 litigated. The number of punishment inflicted to embezzler class snappers, being, and successive small is 50,10 %, 61,6 % and 70,30 % of the punishment charged. Only an increasing number of the cases of corruption which are handled poverty alleviation commission (KPK) has influence significantly to increase the amount of money the state of being were saved ( sig < 0.05, namely 0,034 ). The index sustainability (IKB) the process of law enforcement on corruption about 41,95 (Less Catagory) While the most disturbing obstacle factors (dependency and drive strong power) is the amount and quality of the investigators limited reliance on the time it takes the CPC, the confidentiality of documents BUDGETS/BUDGET/TH activity.

 

Keywords: finances of the State, corruption, Audity , significant

 

 

Abstrak : Di tengah kerisauan menghadapi kenyataan keterbatasan anggaran dan tuntutan perbaikan kesejahteraan rakyat, Bangsa Indonesia masih belum mampu mengelola keuangan negara dengan baik.  Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan adanya penyimpangan keuangan negara sekitar Rp 650,298 triliun untuk periode tahun 2007 sampai semester I tahun 2011.  Jumlah perkara yang disidik dan dituntut aparat penegak hukum meningkat masing-masing dari 822 dan 662 perkara pada tahun 2007 menjadi 2.603 dan 1.755 perkara pada tahun 2010, namun menurun pada tahun 2011 masing-masing 1.837 dan 954 perkara. Jumlah hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor kelas kakap, sedang, dan kecil berturut-turut adalah 50,10%, 61,6% dan 70,30% dari jumlah hukuman yang dituduhkan.  Hanya peningkatan jumlah perkara korupsi yang ditangani KPK yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap peningkatan jumlah uang negara yang terselamatkan (sig < 0,05, yaitu 0,034). Indeks keberlanjutan (IKB) proses penyelesaian terhadap korupsi sekitar 41,95 (kategori ‘kurang’).  Sedangkan faktor kendala yang paling mengganggu (dependency dan drive power kuat) adalah jumlah dan kualitas penyidik yang terbatas, ketergantungan pada waktu yang dibutuhkan BPK, kerahasiaan dokumen APBD/APBN/DIPA kegiatan.   

 

Kata kunci :  keuangan negara, Penyimpangan (Korupsi), Aparat pengawasan, signifikan

 

 

 

 

 

1  PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia masih belum mampu mewujudkan kesejahteraan secara layak bagi seluruh rakyatnya, meskipun sudah merdeka lebih dari 60 tahun.   Hal ini ditunjukkan oleh masih tingginya angka kemiskinan, dimana pada  tahun 2005 hingga 2010, angka kemiskinan di Indonesia, masih di atas 10 %, yaitu berturut-turut sebesar 16,0%, 17,8%, 16,6%, 15,4%, 14,2% dan 12,0%. Kondisi ini sangat memperihatinkan karena Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah baik di darat, di dalam perut bumi, maupun di lautan.  Kekayaan alam tersebut harusnya memberikan kontribusi yang besar dengan pendapatan nasional (DPD, 2012a).

Pendapatan nasional yang meningkat 83,5% dalam lima tahun terakhir, masih dirasakan kurang bila dibandingkan dengan peningkatan APBN yang meningkat hampir 100% dari tahun 2006 ke tahun 2011.  Di tengah kerisauan menghadapi kenyataan keterbatasan anggaran dan tuntutan perbaikan kesejahteraan rakyat, Bangsa Indonesia masih belum mampu mengelola keuangan negara dengan baik.  Hasil pemeriksaan BPK (2011) untuk periode tahun 2005 sampai dengan semester I tahun 2011 menunjukkan adanya penyimpangan signifikan dalam pengelolaan keuangan negara, yaitu sekitar Rp 650,298 triliun dari 95.350 temuan pemeriksaan.

Sejalan dengan temuan BPK, jumlah penyimpangan terhadap pengelolaan keuangan negara  (korupsi) yang ditangani aparat pengawasan dalam empat tahun terakhir tercatat rata-rata 2548 perkara per tahun, sedangkan yang dituntut ke pengadilan sekitar 52%.  Perkara tersebut menyebar di seluruh level pemerintahan, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota dengan rasio penuntutan tertinggi terjadi pulau Jawa.  Penanganan perkara tersebut melibatkan semua lembaga pengawasan, seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK.  Mengingat besarnya penyimpangan tersebut pada kondisi anggaran belanja negara yang terbatas dan tingkat kesejahteraan rakyat yang belum membaik, maka dirasa perlu untuk diketahui bagaimana progress penegakan hukum tersebut terhadap penyelesaian korupsi yang ada, bagaimana keterkaitan penanganan yang dilakukan oleh pemeriksa  kepolisian, kejaksaan, dan KPK terhadap jumlah uang negara yang terselamatkan, apa kendala yang dihadapi serta bagaimana keberlanjutan. Penelitian ini mencoba membantu mengungkap hal tersebut.

 

 

2  TUJUAN PENELITIN

Penelitian ini bertujuan :

1.  Mendeskripsikan kondisi kini (present status) penyelesaian  terhadap kasus penyimpangan atas pengelolaan keuangan  negara (korupsi)

2.  Menganalisis keterkaitan jumlah perkara, perkara selesai, proses sidik, dan jumlah uang negara yang terselamatkan dalam penanganan kasus penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara  (korupsi) oleh aparat pemeriksa.

3.  Memetakan kendala penyelesaian terhadap kasus penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara (korupsi) dan menganalisis indeks keberlanjutannya.

 

 

3  METODE PENELITIAN

3.1  Tempat Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Jakarta dengan didukung oleh data terkait yang berasal dari daerah. Waktu pelaksanaan penelitian sekitar 4 (empat) bulan, mulai bulan mei  2013 sampai dengan bulan Agustus 2013. 

 

3.2  Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara responden dan pengamatan langsung di lapangan.  Data primer mencakup informasi penegakan hukum kasus-kasus tindak pidana korupsi di daerah, data persepsi responden terhadap kinerja aparat penegakan hukum dalam penanganan kasus korupsi, data jenis-jenis kendala penegakan hukum yang dihadapi oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK.  Responden terdiri dari unsur masyarakat, LSM, advokat, dan penyelenggara negara.  Data sekunder terdiri data time series penanganan kasus penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara (korupsi) diantaranya mencakup jumlah perkara, perkara selesai, proses sidik, proses tuntut, dan jumlah uang yang terselamatkan yang tersedia di instansi kepolisian, kejaksaan, dan KPK,  data rekomendasi BPK, data rekomendasi DPD, salinan putusan MA terhadap kasus penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara  (korupsi) , dan lainnya.

 

3.3   Analisis Data

 

3.3.1.    Analisis Deskriptif 

            Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kondisi kini (present status) penyelesaian  terhadap kasus penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara  (korupsi) di Indonesia.   Analisis ini dimulai dengan pengidentifikasian secara time series jumlah penyimpangan atas pengelolaan  keuangan negara (korupsi) yang ditangani aparat pemeriksa (kepolisian, kejaksaan, dan KPK), kemudian dilanjutkan dengan pendeskripsian jumlah hukuman yang dituduhkan dibandingkan dengan jumlah hukuman yang dijatuhkan untuk kasus kelas kakap (> Rp25 miliar), besar ( Rp 1 miliar – Rp 25 miliar), sedang (Rp 100 juta - Rp 1 miliar), kecil (Rp 10 juta - Rp100 juta), dan gurem (< Rp 10 juta) (Pradiptyo, 2011). Selanjutnya dilakukan analisis perbandingan terhadap jumlah penyidik dengan jumlah perkara korupsi yang ditangani oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Hasil identifikasi dan analisis tersebut kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk grafik, tabel,  atau narasi kronologis yang mudah dipahami.     

 

3.3.2.  Analisis Korelasi

Analisis korelasi ini digunakan untuk menganalisis keterkaitan jumlah perkara, perkara selesai, proses sidik, dan jumlah uang yang dikembalikan dalam penanganan kasus penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara (korupsi) oleh Pemeriksa kepolisian, kejaksaan, dan KPK.  Menurut Sarwono (2006), metode korelasi dapat digunakan untuk mengalisis hubungan antar berbagai komponen yang berinteraksi pada suatu lingkup kegiatan.   Jumlah perkara, perkara selesai, proses sidik, proses tuntut, dan jumlah uang negara yang terselamatkan mempunyai keterkaitan satu sama lain, dan proses penanganannya sangat menentukan keberhasilan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemeriksa kepolisian, kejaksaan, dan KPK.  Keterkaitan jumlah perkara, perkara selesai, proses sidik, proses tuntut, dengan jumlah negara yang terselamatkan dalam penanganan kasus penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara (korupsi) oleh aparat pemeriksa ini dianalisis menggunakan rumus matematis :

Keterangan :

Yn = jumlah negara yang terselamatkan dalam penanganan kasus penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara (korupsi) oleh aparat pemeriksa ke-n (variabel terikat)

X1n = jumlah perkara yang ditangani oleh aparat pemeriksa  ke-n

X2n = perkara selesai yang ditangani oleh aparat pemeriksa ke-n

X3n  = proses sidik oleh aparat pemeriksa ke-n

X4n = proses tuntut oleh aparat pemeriksa ke-n

Untuk memudahkan analisis tersebut, maka keterkaitan jumlah perkara, perkara selesai, proses sidik, proses tuntut, dengan jumlah negara yang terselamatkan dalam penanganan kasus penyimpangan pengelolaan keuangan negara (korupsi) oleh aparat pemeriksaan tersebut dikelompokkan menjadi keterkaitan lemah, keterkaitan cukup, keterkaitan kuat, dan keterkaitan sangat kuat.  Sedangkan range nilainya ditetapkan : (a). keterkaitan lemah :  0 – 0,25, (b) keterkaitan cukup : >0,25 – 0,5, (c) keterkaitan kuat : >0,5 – 0,75, dan (d) keterkaitan sangat kuat : >0,75 – 1.  Keterkaitan tersebut bersifat signifikan sehingga perlu diberi perhatian khusus bila mempunyai nilai sig. < 0,05 % (Sarwono, 2006).

 

3.3.3.  Analisis Multi Dimensional Scaling

Analisis Multidimensional Scaling (MDS) digunakan untuk memetakan kendala pemeriksa terhadap kasus penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara  (korupsi) menurut daya dorong (driver power) dan ketergantungannya (dependency), serta menganalisis indeks keberlanjutannya bagi penanganan di masa datang.  Analisis ini mengacu kepada proses ordinasi menggunakan algoritma RAPFISH (The Rapid Appraisal of The Status Of Fisheries)  (Kavanagh, 2001).   Dengan menggunakan MDS, nilai atribut akan dianalisis secara multidimensional untuk menentukan posisi relatif keberlanjutan pemeriksaan terhadap kasus penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara (korupsi) yang terjadi, apakah termasuk kategori “baik (good)” atau “buruk (bad)”.    Tabel 1 menyajikan acuan ketegori penilaian indeks keberlanjutan (IKB) pemeriksaan  tersebut.

Tabel 1.  Kategori keberlanjutan pemeriksaan terhadap kasus penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara  (korupsi)

Nilai Indeks

Kategori

0 – 25

Buruk

26 – 50

Kurang

51 – 75

Cukup

76 – 100

Baik

 

Sumber :  Jhonson dan Wichern (1992)

Untuk mendukung hal ini, maka analisis akan dilakukan melalui empat,  tahapan, yaitu: (a) penentuan faktor kendala pemeriksaan terhadap kasus penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara  (korupsi), (b) penilaian setiap faktor dalam skala ordinal, (c) analisis ordinasi nilai indeks keberlanjutan kendala pemeriksa terhadap kasus penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara (korupsi), (d) pemetaan faktor kendala pemeriksa tersebut  menurut tingkat kepentingannya dihubungkan dengan daya dorong (drive power) dan ketergantungan (dependency) dalam pelaksanaan pemeriksaan penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara (korupsi) yang dilakukan oleh pemeriksa kepolisian, kejaksaan, dan KPK.    Dalam analisis ini, juga dilakukan analisis leverage, analisis nilai stress, dan analisis nilai koefisien determinasi (R2).  Persyaratan status keberlanjutan penegakan hukum dapat diterima (baik) bila nilai stress < 0,25 dan dan nilai R2 > 95%.

4  KAJIAN TEORITIS

 

4.1 Kewenangan Pemeriksa   Terhadap penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara (korupsi)  

Ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyatakan apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Memenuhi ketentuan undang-undang dimaksud, sejak Tahun 2003 BPK telah melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung indikasi unsur pidana kepada instansi yang berwenang yaitu Pemeriksa Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kewenangan Kepolisian sifatnya umum, dalam arti berwenang untuk menangani semua perkara tindak pidana, termasuk perkara korupsi. Sementara Kejaksaan, di samping berwenang menangani perkara korupsi, juga berwenang melakukan penuntutan terhadap semua perkara pidana. Sedangkan KPK yang memiliki kewenangan khusus/luar biasa, berwenang melakukan penindakan terhadap semua perkara korupsi, terutama menyangkut kerugian paling sedikit Rp1 miliar (UU No. 30, 2004 dan Direktorat Tindak Pidana Khusus,  2011).  

Hasil penanganan kasus-kasus terhadap penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara (korupsi) oleh ketiga aparat pemeriksa, baik yang bersumber dari temuan hasil pemeriksaan BPK dan BPKP, hasil penyelidikan dan penyidikan sendiri, maupun laporan pengaduan masyarakat langsung.  Dari IHPS II BPK 2011, LHP BPK mengandung unsur pidana yang telah disampaikan kepada instansi berwenang periode Tahun 2003-2011 yaitu sebanyak 318 kasus senilai Rp33,87 triliun.  Dari hasil pemantauan tindak lanjut LHP BPK mengandung unsur pidana yang telah disampaikan kepada instansi berwenang menunjukkan bahwa sebanyak 186 kasus atau sebesar 58,49% telah ditindaklanjuti baik berupa pelimpahan, proses penyelidikan (lidik), proses penyidikan (sidik), proses penuntutan dan persidangan (proses sidang), telah diputus oleh peradilan, maupun dihentikan penyidikannya (SP3). Adapun temuan yang belum ditindaklanjuti atau belum ada informasi tindak lanjutnya adalah sebanyak 132 kasus atau 41,51% (DPD, 2012a).

 

 

4.2 Pengelolaan Sumberdaya pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK Terkait Penanganan terhadap penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara (korupsi)

 

Menurut DPD (2011),  beberapa tahun terakhir ini tepatnya sejak digalakkannya pemberantasan korupsi yang dimotori oleh KPK, aparat penegak hukumpun mulai berbenah diri terutama dalam peningkatan kualitas tenaga penyidik dan/atau jaksa penuntut, hal mana terpaksa dilakukan disamping karena adanya keterbatasan kualitas maupun kualitas sumberdaya manusia (SDM), juga karena beban kerja aparat penegak hukum yang melampaui daya dukung SDM-nya dan dukungan dana operasional yang mampu disediakan pemerintah. Kepolisian, kejaksaan, dan KPK terus melakukan proses peningkatan SDM yang dimiliki, khususnya yang menyangkut kualitas dan kuantitas tenaga pemeriksa dan/atau jaksa penuntut melalui berbagai latihan maupun kursus penyegaran.

Untuk dukungan dana operasional, menurut DPD (2011), sekalipun mungkin tidak banyak peningkatan nilai/jumlahnya, namun untuk sementara dapat dikatakan cukup mendukung bagi kegiatan operasional penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.  Sedangkan menurut Direktorat Tindak Pidana Korupsi (2012), alokasi dana operasional untuk setiap kasus sangat  terbatas, dan sebagian besar tidak sebanding dengan kebutuhan untuk mengungkap adanya penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara  (korupsi)  yang terjadi.  Hal ini sering terjadi, sehingga beberapa kasus tidak bisa ditangani sebagaimana mestinya.

Menurut Direktorat Tindak Pidana Khusus (2011) dan DPD (2011), kendala yang krusial bagi aparat pemeriksa dalam menggunakan dana operasional bukan hanya bersumber dari jumlah dana yang dialokasikan dalam APBN, tetapi juga prosedur pertanggungjawaban keuangan. Kebijakan tersebut semakin terasa, jika membandingkan pertanggungjawaban keuangan antara pemeriksa KPK dengan Kejaksaan dan Polri. Kejaksaan dan Polri diharuskan mengelola dana dengan mekanisme pagu per perkara, padahal belum tentu setiap perkara membutuhkan biaya yang sama. KPK menggunakan mekanisme pengelolaan at cost yang relatif lebih mudah dalam pertanggungjawaban penggunaannya. 

 

4.3  Koordinasi Pemeriksa Terhadap penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara (Korupsi)

Menurut DPD (2012a), koordinasi diantara aparat pemeriksa umum dilakukan dalam dua level. Untuk level pusat dilakukan melalui koordinasi Kemenpolkam dengan mengundang pihak Mabes Polri, Kejaksaan Agung dan KPK. Sedangkan di level daerah, koordinasi dilakukan antar Polda dan Kejaksaan Tinggi, dan pada kondisi tertentu juga mengundang pihak KPK ke daerah.  Koordinasi tersebut memang tidak intensif dilakukan, karena setiap lembaga penegak hukum mempunyai kewenangan masing-masing terkait pengusutan kasus korupsi yang ditangani.  Koordinasi umumnya terkait pelimpahan kasus kepada lembaga penegak hukum lainnya, bila kasus spesifik, berskala besar, dan lembaga penegak hukum tertentu mempunyai keterbatasan untuk mengusutnya.

Kasus-kasus korupsi yang mengemuka yang banyak dikoordinasikan dengan lembaga penegak hukum lainnya terutama KPK, antara lain terkait kasus korupsi pejabat negara, kasus korupsi penggelapan pajak, kasus korupsi dana pendidikan (Polda NAD, 2011).  Namun demikian, penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tersebut masih banyak kendala.  Menurut Direktorat Tindak Pidana Korupsi (2012), kendala-kendala yang dihadapi antara lain meskipun kasus korupsi cukup banyak namun setoran kasus korupsi dari BPK hanya 12 kasus setiap tahun. Selain itu anggaran untuk penyelidikan yang jauh lebih terbatas dibandingkan dengan Badan Intelijen Negara dan remunerasi yang diskriminatif jika dibandingkan dengan TNI. 

Disamping antar lembaga penegak hukum, koordinasi juga dilakukan dengan lembaga pemerintah. Menurut DPD (2012b dan DPD, 2011), dalam proses pemeriksaan terhadap penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara  (korupsi), koordinasi antara lembaga penegak hukum dengan lembaga pemerintah umumnya tidak lancar.  Padahal aparat penegak hukum merupakan pengemban fungsi “social control” terhadap perilaku menyimpang pengelolaan keuangan negara, sedangkan lembaga pemerintah merupakan pengguna atau pengelolaan keuangan negara.  Untuk keperluan penyelidikan, pemeriksa pada umumnya melakukan pemanggilan atau dengan istilah halus “mengundang” secara langsung pejabat pengelola/pengguna anggaran untuk diminta keterangan/klarifikasi sehubungan dengan dugaan terjadinya penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara  (korupsi) tanpa sepengetahuan pimpinan lembaga/ inspektoratnya.

Langkah demikian, memang belum tentu bertentangan dengan hukum tetapi “kisaran suara” semacam itu setidak-tidaknya perlu untuk dikaji bersama oleh pemerintah bersama pihak penegak hukum. Hal ini penting untuk mencari formula yang lebih efektif dan terjadinya koordinasi yang lebih baik, sehingga proses pemeriksaan terhadap penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara   (korupsi) lebih transparan tanpa mengganggu kinerja pihak-pihak terkait.  Menurut DPD (2012b) persoalannya menjadi semakin bermasalah, manakala tindakan tersebut terpublikasikan, bahkan ada dugaan kesengajaan yang direkayasa melalui media massa sebagai isu, bahkan tidak jarang dengan praduga bersalah sudah di“cap” sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Artinya bahwa jika tuduhan demikian itu tidak dapat dibuktikan, maka bukan saja pejabat yang dituduh apalagi terlanjur di”cap” yang menjadi korban pencemaran, tetapi  patut juga instansi penegak hukum yang bersangkutan sudah dapat dicurigai mengkomersialkan jabatannya. Kondisi demikian pada gilirannya akan semakin menjatuhkan kepercayaan publik dan wibawa penegak hukum di mata publik.

 

5  HASIL DAN PEMBAHASAN

 

5.1 Present Status Pemeriksaan Terhadap Kasus penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara  (Korupsi)

 

Progress penanganan terhadap penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara (korupsi)  yang ditangani oleh aparat pemeriksaan kepolisian, kejaksaan, dan KPK memperlihatkan kecenderungan meningkat pada periode tahun 2007-2010 dan mengalami penurunan pada tahun 2011 (Gambar 1).  Untuk tahap penyidikan, jumlah perkara yang ditangani aparat pemeriksa , meningkat dari 822 perkara pada tahun 2007 menjadi 2.603 perkara pada tahun 2010, sedangkan untuk tahap penuntutan, meningkat dari 662 perkara pada tahun 2007 menjadi 1.755 perkara pada tahun 2010.  Jumlah perkara yang masuk tahap penyidikan pada tahun 2011 sekitar 1837 dan yang masuk tahap penuntutan sekitar 954 perkara. Penurunan pada tahun 2011, diduga karena beberapa kasus besar dan kakap banyak ditangani, sehingga konsentrasi penyidik banyak tercurah pada penanganan kasus tersebut (DPD, 2012b).  Disamping itu, pada tahun 2011 timbul konflik diantara aparat penegak hukum (kasus cecak-buaya) dan diinternal aparat pemeriksa (terutama di kepolisian), sehingga terjadi reorientasi fokus dalam penegakan hukum.

 

Gambar 1.  Progress pemeriksaan terhadap penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara  (korupsi)

 

Meskipun kasus korupsi kelas kakap tersebut telah menyebabkan kerugian besar pada keuangan negara, namun jumlah hukuman yang dijatuhkan cenderung lebih ringan.  Gambar 2 menyajikan perbandingan rata-rata jumlah hukuman yang dituduhkan dengan rata-rata jumlah hukuman yang dijatuhkan untuk setiap skala korupsi yang terjadi. 

Sumber : Diolah dari Pradiptyo (2011)

 

Gambar 2. Perbandingan rata-rata jumlah hukuman yang dituduhkan dengan rata-rata jumlah hukuman yang dijatuhkan menurut skala korupsinya

 

 

Berdasarkan Gambar 2, jumlah hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor kelas kakap hanya  50,10% (58 dari 115,7 hukuman yang dituduhkan), sedangkan yang dijatuhkan kepada koruptor kelas sedang mencapai 61,6% (32,8 dari 53,2 hukuman yang dituduhkan) dan koruptor kelas kecil mencapai 70,30% (15,2 dari 21,6 hukuman yang dituduhkan).  Menurut Republika (2012), hal ini terjadi karena koruptor kelas kakap biasanya melibatkan pejabat tinggi, anggota partai politik, dan kelompok tertentu yang berkuasa dan secara finansial cukup mampu membayar pengacara-pengacara yang handal.  Disamping itu, peluang intervensi terhadap proses penegakan hukum yang terjadi juga lebih besar, mengingat pengaruh kelompok mereka cukup besar.

Terlepas dari itu, proses penegakan hukum yang telah dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK perlu diapresiasi karena cukup banyak kerugian keuangan negara yang terselamatkan. Sejak penanganan tindak pidana korupsi pada tahun 2007, jumlah uang negara yang terselamatkan sekitar 12,41 miliar, kemudian meningkat pada tahun 2008 dan 2010 masing sekitar 81,78 miliar dan Rp 750,20 miliar (DPD, 2012b).  Proses pemeriksaan  tersebut harus didukung terus terutama dengan menyiapkan tenaga-tenaga pemeriksa yang handal dan teruji integritasnya.  Hal ini karena para penyidik tersebut merupakan ujung tombak penyelamatan kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi yang semakin tindak terkendali di semua level pemerintahan baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota (King, 2006). Gambar 3 menyajikan perbandingan jumlah tenaga penyidik dengan jumlah perkara korupsi yang ditangani oleh aparat pemeriksa kepolisian, kejaksaan, dan KPK pada periode tahun 2011. 

 

Gambar 3.  Perbandingan jumlah tenaga pemeriksa dengan jumlah perkara korupsi yang ditangani

 

Bila melihat Gambar 3, maka bebas tugas tertinggi dalam penanganan  korupsi terjadi pada KPK, yaitu 3,2 (1 penyidik menangani 3,2 perkara, atau 191 penyidik menangani 609 perkara).  Sedangkan pemeriksa kepolisian dan kejaksaan masing-masing 1,43 (1 penyidik menangani 1,43 perkara) dan 0,32 (3 penyidik menangani 1 perkara).  Kondisi ini cukup memprihatinkan bagi KPK mengingat KPK mempunyai tugas untuk menangani tindakan pidana korupsi besar (kelas kakap) menurut  UU No 30/2004 tentang Komisi Pemberantassn Korupsi.  Namun apakah hal ini berpengaruh terhadap jumlah negara yang berhasil diselamatkan oleh ketiga lembaga penegakan hukum ini, bagian 4.2 akan menjelaskannya.

 

5.2 Keterkaitan Penanganan Kasus penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara (Korupsi) dengan Jumlah Uang Negara Yang Terselamatkan

 

a.    Penanganan oleh pemeriksa Kepolisian

Pada tahun 2008, jumlah perkara korupsi yang ditangani oleh pemeriksa kepolisian sebanyak 359 perkara, sedangkan pada tahun 2011 menjadi 766 perkara (rata-rata pertahunnya sekitar 466 perkara per tahun).  Sedangkan perkara korupsi yang mampu diselesaikan pada tahun 2008 mencapai 226 perkara dan pada tahun 2011 mencapai 510 perkara.  Jumlah perkara yang masuk dalam proses sidik pada tahun 2008 sekitar 180 perkara, dan pada tahun 2011 sekitar 431 perkara.   Sedangkan jumlah uang negara yang terselamatkan dalam penanganan kasus korupsi oleh kepolisian ini mecapai Rp 81,78 miliar pada tahun 2008 dan Rp 260,95 miliar pada tahun 2011 (DPD, 2012b).  Tabel 2, menyajikan keterkaitan jumlah perkara, perkara selesai, dan proses sidik dengan jumlah negara terselamatkan dalam penanganan kepolisian.

Tabel 2. Keterkaitan jumlah perkara, perkara selesai, dan proses sidik dengan jumlah uang  negara terselamatkan dalam penanganan pemeriksaan kepolisian

Variabel Terikat

Jml_Perkara

Selesai

Proses_Sidik

Uang_Negara_Terselamatkan

Pearson Correlation (pc)

0,078

0,520

-0,273

Sig. (2-tailed)

0,922

0,480

0,727

N

4

4

4

 

 

            Berdasarkan Tabel 2, semakin bertambah jumlah perkara korupsi yang ditangani oleh pemeriksa kepolisian dapat meningkatkan jumlah uang negara yang terselematkan.  Namun keterkaitan kedua hal ini sangat lemah (pc = 0,78) dan tidak mempunyai pengaruh signifikan (sig > 0,05, yaitu 0,922) dalam penanganan perkara korpusi yang ditangai oleh pemeriksa kepolisian.  Jumlah perkara yang selesai mempunyai keterkaitan kuat dengan jumlah uang negara yang terselamatkan (pc = 0,520), namun hal ini juga masih belum siginfikan dibandingkan jumlah kerugian negara akibat perkara tersebut.  Menurut Direktorat Tindak Pidana Korupsi (2012), pada tahun 2011 kerugian negara dari 766 perkara korupsi yang ditangani oleh kepolisian mencapai Rp 2,01 triliun, sedangkan yang terselamatkan hanya sekitar Rp 260,95 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa proses penyelesaian korupsi yang dilakukan oleh kepolisian terhadap penyimpangan keuangan negara belum berhasil maksimal dan belum dirasakan dampaknya secara nyata di masyarakat.  Bahkan proses pemeriksaan  yang dilakukan oleh kepolisian dalam penanganan tindak korupsi cenderung tidak efektif dan terkesan masih banyak permainan.  Hal ini ditunjukkan oleh nilai pearson correlation yang negatif (pc = -0,273) proses pemeriksaan yang dilakukan oleh kepolisian dengan jumlah uang negara terselamatkan (Tabel 2).

 

b.    Penanganan oleh  pemeriksaan Kejaksaan

Proses pemeriksaan  perkara korupsi yang ditangani kejaksaan pada tahun 2008 mencapai 1.266 perkara, sedangkan pada tahun 2009, 2010, dan 2011 masing mencapai 1.530 perkara, 2.315 perkara, dan 1.406 perkara (rata-rata 1630 perkara atau perhari rata-rata sekitar 4 - 5 perkara).  Proses tuntut perkara yang dilakukan oleh kejaksaan pada tahun 2008 dan tahun 2011 masing-masing mencapai 1.076 perkara dan 954 perkara (Direktorat Tindak Pidana Khusus,   2011).   Namun demikian, baik proses sidik maupun proses tuntut tersebut belum membantu dalam penyelamatan keuangan negara (Tabel 3).

Tabel 3. Keterkaitan proses sidik dan proses tuntut dengan jumlah uang negara terselamatkan dalam penanganan pemeriksaan  kejaksaan

Variabel Terikat

Proses_Sidik

Proses_Tuntut

Uang_Negara_Terselamatkan

Pearson Correlation (pc)

-0,355

-0,042

Sig. (2-tailed)

0,769

0,973

N

3

3

 

Berdasarkan Tabel 3, proses sidik dan proses tuntut mempunyai keterkaitan negatif dengan jumlah uang negara yang terselamatkan yang ditunjukkan oleh nilai pc masing-masing -0,355 (negatif cukup) dan -0,042 (negatif lemah).  Hal ini diduga karena jumlah uang terselamatkan mengalami penurunan signifikan pada tahun 2010 (Rp 354,52 miliar) dibandingkan pada tahun 2009 (Rp 4,82 triliun, USD67.882,42, dan Bath Thailand 3.835.192,76), meskipun proses sidik dan proses tuntut lebih banyak pada tahun 2010 (2.315 perkara dan 1.715 perkara) dibandingkan pada tahun 2009 (1.530 perkara dan 1.284 perkara).  Mengacu kepada hal ini, maka proses pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan tidak lebih baik daripada yang dilakukan oleh kepolisian. Hal ini harus menjadi perhatian penting, mengingat cenderung meningkatnya kasus korupsi di tanah air dari tahun ke tahun, sementara tahap penyidikan dan penuntutan menjadi roh atau kunci utama keberhasilan penyelamatan kerugiaan keuangan negara.  Menurut Pradipyyo (2011). proses sidik dan proses tuntut merupakan proses penting pembuktian korupsi dan penyelamatan kerugian keuangan negara, dan oleh karenanya harus diawasi dengan baik, dilakukan oleh tenaga profesional terlatih, jauhi dan dilindungi dari berbagai intervensi yang bisa mengganggu proses penegakan hukum.

 

c.    Penanganan oleh pemeriksa  KPK

Jumlah perkara tindak pidana korupsi yang masuk KPK dan diproses oleh bidang penindakan pada tahun 2007 sekitar 157 perkara, mengalami peningkatan pada tahun 2009 dan 2010 yaitu masing-masing mencapai 350 perkara 621 perkara.  Sedangkan pada tahun 2011 sedikit menurun dibandingkan tahun 2010, yaitu sekitar 609 perkara.  Dari jumlah tersebut yang berhasil diselesaikan rata-rata sekitar 37 perkara per tahun atau sebesar 8,5% dari jumlah perkara yang masuk. Proses sidik pada tahun 2010 mencapai 171 perkara, dan sedikit menurun pada tahun 2011 menjadi 112 perkara seiring dengan penurunan jumlah perkara yang masuk.  Sedangkan jumlah uang negara yang terselamatkan pada tahun 2011 dari penegakan hukum oleh KPK mencapai Rp 2,54 triliun.

Tabel 4. Keterkaitan jumlah perkara, perkara selesai, dan proses sidik dengan jumlah negara terselamatkan dalam penanganan KPK

Variabel Terikat

Jml_Perkara

Selesai

Proses_Sidik

Uang_Negara_Terselamatkan

Pearson Correlation

0,966*

0,680

-0,449

Sig. (2-tailed)

0,034

0,320

0,704

N

4

4

3

Jumlah uang yang terselamatkan tersebut mempunyai keterkaitan positif sangat kuat dengan peningkatan jumlah perkara (pc = 0,966) dan keterkaitan positif kuat dengan perkara yang selesai ditangani KPK (pc = 0,680) (Tabel 4).  Hasil analisis Tabel 4 juga menunjukkan bahwa peningkatan jumlah perkara mempunyai pengaruh signifikan terhadap potensi uang negara yang terselamatkan yang tunjukkan oleh nilai sig < 0,05, yaitu 0,034.  Hal ini menunjukkan bahwa kinerja pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK telah dapat memberi hasil nyata bagi penyelamatan kerugian keuangan negara.  Menurut KEMENKEU (2011) dan DPD (2012a), nominal nilai keuangan negara yang terselamatkan dalam penanganan KPK umumnya lebih banyak meskipun jumlah perkara korupsi yang ditangani lebih sedikit, diduga karena penanganan oleh KPK difokuskan pada perkara korupsi skala besar dan melibatkan proses pengambilan keputusan strategis pejabat negara.  Sedangkan menurut DPD (2012b), keberhasilan penegakan hukum oleh KPK sangat dipengaruhi oleh integritas pimpinan KPK dan tim penyidik yang dipilih dari putra-putra terbaik bangsa melalui proses demokratis.

Namun demikian, proses pemeriksaan yang terjadi di KPK masih terkesan tidak efektif dan ada intervensi seperti pada dua lembaga penegakan hukum sebelumnya yang ditunjukkan oleh nilai pearson correlation proses sidik yang negarif (pc = -0,449).  Kasus tindak pidana korupsi yang berskala besar umumnya melibatkan banyak aparat negara dan kelompok tertentu dengan posisi strategis di negeri ini, dan mereka mempunyai kemampuan untuk mengintervensi proses penegakana hukum yang terjadi.  Terlepas dari ini, penanganan tindak pidana korupsi yang terjadi di tanah air belum berhasil maksimal, pada satu sisi KPK sudah dapat menyelamatkan kerugian keuangan negara secara signifikan, namun proses sidik yang dilakukannya masih terkesan ada intervensi. Hal yang sama juga terjadi dalam penanganan tindak pidana korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan.   

 

5.3  Pemetaan Kendala Pemeriksaan terhadap Kasus penyimpangan terhadap pengelolaan keuangan negara  (Korupsi)

 

Belum maksimalnya proses penegakan hukum yang dilakukan oleh pemeriksa  kepolisian, kejaksaan, dan KPK terhadap kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di tanah air tidak semata disebabkan oleh keterbatasan internal, tetapi juga disebabkan oleh faktor kendala yang berasal dari luar.  Menurut rekomendasi BPK (2011), faktor-faktor yang menjadi kendala dalam penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana korupsi di Indonesia adalah terbatasnya jumlah dan kualitas penyidik, ketergantungan pada waktu yang dibutuhkan BPK, terkadang penegakan hukum menghadapi dilema media, adanya politik devide et impera dalam penegakan hukum, dokumen APBD/APBN/DIPA kegiatan yang bersifat rahasia, temuan BPK yang berindikasi korupsi tidak dilaporkan, temuan BAWASDA yang berindikasi korupsi tidak dilaporkan, kurangnya koordinasi aparat dengan pihak BPK Perwakilan, ijin Presiden/Mendagri/Gubernur cukup lama, pihak pelapor tidak menyertakan bukti-bukti yang cukup, rujukan teknis pengelolaan keuangan negara belum lengkap.  Gambar 4 menyajikan hasil pemetaan faktor kendala terhadap pemeriksaan adanya penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara (korupsi) dari sudut pandang dependency (tingkat ketergantungan) dan drive power (tingkat pengaruh).  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 4. Peta dependency versus drive power faktor kendala dalam pemeriksaan adanya penyimpangan pengelolaan keuangan negara (korupsi)

 

a.  Peta kendala kuadran I dan kuadran II

 

Berdasarkan Gambar 4, terbatasnya jumlah dan kualitas penyidik, ketergantungan pada waktu yang dibutuhkan BPK, dokumen APBD/APBN/DIPA kegiatan yang bersifat rahasia merupakan faktor kendala yang paling mengganggu proses pemeriksaan  yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK terhadap penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara  (korupsi) (kuadran I).  Ketiga faktor tersebut mempunyai dependency dan drive power kuat terhadap proses penegakan hukum yang terjadi. Berdasarkan laporan pengawasan DPD dalam Kep. DPD Nomor 75/DPD RI/IV/2011-2012, BPK dalam  melakukan audit memakan waktu cukup lama, yaitu antara 3 sampai 4 bulan.  Padahal penanganan berkas dari polisi ke jaksa juga ditindaklanjuti dalam waktu yang lama karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) harus mengirimkan rencana tuntutan ke Kejaksaan Agung untuk dinilai, sebelum diterbitkan P-21.  Kondisi ini menyebabkan penanganan kasus mundur dan menjadi tidak jelas, apalagi kasus yang baru terus berdatangan.  Kondisi ini juga tidak berbarengi dengan penambahan jumlah dan kualitas penyidik, dan bahkan penyidik tidak bisa konsentrasi karena harus menangani belasan kasus pada waktu yang sama.  

Dokumen APBD/APBN/DIPA dan dokumen yang terkait program kegiatan adalah rahasia dan tidak dapat disebarluaskan juga sangat membatasi pengawasan publik dan penegakan yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Aparat mengalami kendala birokratis untuk menjangkau dan bila tidak ada pelaporan maka tidak pernah bisa ditangani.  Kondisi ini bertentangan dengan  pasal 6 (3) UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) serta Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yaitu Pasal 313 ayat (1) dan (2) terkait Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah.  Namun dalam pelaksanaannya dokumen tersebut tetap saja dibuat sakral dan sulit diakses.  Hal ini bisa menjadi penyebab indeks keberlanjutan (IKB) proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di tanah air termasuk kategori ‘kurang’ (IKB = 41,95) (Gambar 5).

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 5.  Nilai indeks keberlanjutan (IKB) proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi

 

Temuan BPK yang berindikasi korupsi tidak dilaporkan, temuan BAWASDA yang berindikasi korupsi tidak dilaporkan, dan dilema media merupakan faktor kendala yang mempunyai driver power kuat dan dependency lemah (kuadran II). Temuan BPK dan BAWASDA tersebut dapat mempercepat pengusutan kasus dan beberapa temuan tersebut bisa langsung ditelusuri untuk menemukan barang bukti.  Namun demikian, aparat penegak hukum harus tetap mandiri dalam menangani tindak pidana koruosi yang terjadi, termasuk tidak boleh terpengaruh dengan provaksi media.  Menurut KPK (2011) dan Tao, et. al (2004), laporan BPK dan BAWASDA yang tidak utuh dan provokasi media sering menghambat suatu proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi karena kasus telah dibawa ke ruang publik, sementara bukti dan pelaporan tidak lengkap.  Akibatnya aparat penegakan hukum hanya sibuk melakukan klarifikasi, tidak fokus, dan timbul keraguan terhadap keberlanjutan penanganan kasus (nilai IKB hanya 41,95, kategori ‘kurang’).

 

b.  Peta kendala kuadran III dan kuadran IV

Ijin Presiden/Mendagri/Gubernur cukup lama, pihak pelapor tidak menyertakan bukti-bukti yang cukup, rujukan teknis pengelolaan keuangan negara belum lengkap merupakan faktor kendala dengan dependency kuat namun mempunyai driver power rendah (kuadran 3).  Hal ini menunjukkan bahwa ketiga faktor tesebut secara formalitas sangat mempengaruhi proses penegakan hukum, meskipun setelah itu kepolisian, kejaksaan, dan KPK harus bekerja ekstra untuk mengungkap tindak pidana korupsi yang terjadi.  Dugaan politik devide et impera dalam penegakan hukum, kurangnya koordinasi aparat dengan pihak BPK Perwakilan juga mempengaruhi proses penegakan hasil pemeriksaan, namun sepertinya aparat kepolisian, kejaksaan, dan KPK tidak mempunyai ketergantungan dan tidak banyak terpengaruh oleh ulah oknum yang berusaha memecah belah harmonisasi proses penegakan hukum.  Hal ini ditunjukkan oleh dependency dan driver power kedua faktor ini yang rendah terhadap proses penegakan hukum. Pada satu dua kasus, hal ini terkadang terjadi, namun umumnya dapat segera diselesaikan antar institusi penegakan hukum terkait. 

Namun bagaimanapun juga, berbagai faktor kendala yang ada harus tetap dihindari, jangan sampai proses penegakan jalan di tempat dan tidak transparan akibat kendala eksternal dan intervensi kepentingan kelompok tertentu yang berkuasa yang ingin menyelamatkan dari hasil pemeriksaan korupsi yang dilakukannya. Menurut Republika (2012) dan Pradiptyo (2011),  banyak pihak di negeri ini yang sengaja membiarkan aparat pemeriksa terkendala hal-hal yang tidak urgen dalam menindak kasus korupsi yang terjadi. Tidak sedikit kasus korupsi besar yang diskenariokan untuk menyelamatkan pihak-pihak tertentu, dan hal ini dilakukan dengan menghambat secara prosedural melalui faktor kendala yang tadi dan secara langsung mengintervensi proses penyidikan dan penuntutan yang dilakukan aparat pemeriksa.  Hal ini menjadi tugas bersama tidak hanya aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK, tetapi juga seluruh anggota masyarakat.  Kepolisian dan kejaksaaan yang selama ini masih dianggap belum membantu penyelamatan kerugian keuangan negara perlu ditingkatkan kinerja.  KPK perlu terus diberi keleluasaan untuk menjalankan kewenangan aparat pemeriksa sehingga tindak pidana korupsi besar cepat terselesaikan dan penyelamatan kerugaian keuangan negara dapat ditingkatkan.   

 

6  KESIMPULAN DAN SARAN

6.1  Kesimpulan

            Jumlah perkara yang disidik dan dituntut aparat pemeriksa meningkat masing-masing dari 822 dan 662 perkara pada tahun 2007 menjadi 2.603 dan 1.755 perkara pada tahun 2010, namun menurun pada tahun 2011 masing-masing 1.837 dan 954 perkara. Jumlah hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor kelas kakap hanya 50,10% dari jumlah hukuman yang dituduhkan, sedangkan untuk kelas sedang dan kecil masing-masing mencapai 61,6% dan 70,30%. 

Peningkatan jumlah perkara yang ditangani KPK mempunyai pengaruh signifikan terhadap peningkatan jumlah uang negara yang terselamatkan (sig < 0,05, yaitu 0,034), sedangkan yang ditangani kepolisian dan kejaksaan belum signifikan. Namun jumlah perkara selesai dan jumlah yang masuk proses sidik tidak ada yang signifikan pengaruhnya, baik di kepolisian, kejaksaan maupun di KPK.  Jumlah dan kualitas pemeriksa  yang terbatas, ketergantungan pada waktu yang dibutuhkan BPK, dokumen APBD/APBN/DPA kegiatan yang bersifat rahasia merupakan faktor kendala yang paling mengganggu proses penegakan hukum (mempunyai dependency dan drive power kuat).   Sedangkan indeks keberlanjutan (IKB) proses pemeriksaan terhadap penyimpangan atas pengelolaan keuangan negara  (korupsi) termasuk kategori ‘kurang’ (IKB = 41,95).

 

6.2  Saran

            Bila mengacu kepada kesimpulan yang didapat, maka dapat disimpulkan:

1.   KPK perlu diberi akses penuh untuk menindak setiap perkara korupsi yang ditangani, sehingga kerugian keuangan negara lebih banyak yang bisa diselamatkan. Masyarakat secara konsisten mengawasinya sehingga tidak ada intervensi dalam proses pemeriksaan  yang dilakukan KPK terutama untuk  korupsi kelas kakap.

2.  Perlu koordinasi yang lebih baik antara aparat pemeriksa kepolisian, kejaksaan, dan KPK sehingga penegakan hukum lebih cepat, seirama dengan peningkatan jumlah kasus. Berbagai kendala yang dihadapi terutama yang mempunyai dependency dan drive power kuat perlu dibicarakan dengan DPR dan DPD, sehingga segera ditemukan jalan keluar, misalnya dengan merivisi UU terkait. 

 

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).  2011.  Indeks Harga Perkiraan Badan Pemeriksa Keuangan  Semester Tahun 2011.  Badan Pemeriksa Keuangan.  Jakarta.

 

Dewan Perwakilan Daerah (DPD).  2012a.  Rekomendasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Upaya Peningkatan Efektivitas Pengawasan dan Tertib Pengelolaan Keuangan Negara di Daerah.  DPD.  Jakarta.

 

Dewan Perwakilan Daerah (DPD).  2012b.  Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Terhadap Penindakan Lanjutan Rekomendasi BPK dan Pengaduan Masyarakat Terkait Dugaan Penyalahgunaan Keuangan Negara Tahun 2011-2012.  DPD.  Jakarta.

 

Dewan Perwakilan Daerah (DPD).  2011.  Laporan Pelaksanaan Tugas Tahun 2010.  DPD.  Jakarta.

 

Direktorat Tindak Pidana Korupsi.  2012.  Data Perkara Tindak Pidana Korupsi Ditangani Polri.  Bareskrim Polri. Jakarta.

 

Direktorat Tindak Pidana Khusus.  2011.  Data Perkara Tindak Pidana Korupsi Ditangani Kejaksaan.  Kejaksaan Agung.  Jakarta.

 

Jhonson, R.A. and D.W. Wichern.  1992.  Applied Multivariate Statistical Analysis, 6/F.  USA.

 

Kavanagh, J.  2001.  Florida Wildlife : An Introduction to Familiar Species. USA.

 

Kementerian Keuangan (KEMENKEU).  2011.  Data Pokok Anggaran Tahun 2011.  Kementerian Keuangan.  Jakarta.

 

Kepolisian Daerah Nanggro Aceh Darussalam (Polda NAD).  2011.  laporan Rapat Kerja bersama Polda NAD dan Kejaksaan Tinggi NAD.  Polda NAD.  Banda Aceh.  

 

King, P.  2006.  Korupsi dan Disintegrasi di Indonesia Sejak Suharto.  Kebijakan dan Masyarakat , Vol 25(4) :  3-22

 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  2011.  Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi.  Komisi Pemberantasan Korupsi.  Jakarta.

 

Pradiptyo.  2011.  Intensitas Hukuman yang Dijatuhkan untuk setiap Skala Korupsi.  Jakarta. 

 

Republika. 2012.  KPK Diharapkan Ungkap Korupsi Kelas Kakap.    http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/10/11/mbpgcd-kpk-diharapkan-ungkap-korupsi-kelas-kakap.

 

Sarwono, J. 2006. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS. Penerbit ANDI,  Yogyakarta.

 

Tao, R., Lin, J.Y., Liu, M. And Zhang, Q.  2004.  Rural Taxation and Government Regulation in China.  Journal of Agricultural Economics.  Vol 23 (2-3) : 161-168.

 

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

 

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

 

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Komite Pemberantasan Korupsi (KPK).

 

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

 

 

 

comments powered by Disqus