Kemenperin dan STMI

E-Learning | Sekolah Tinggi Manajemen Industri

INDUSTRI PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA

Download Lampiran Disini

INDUSTRI PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA

 

Oleh:

Dr. Charles Bohlen Purba

 

 

 

ABSTRACT

 

Indonesian Act No 20 Year 2003 about National Education System regulated in important aspects that have to looked lively in national education, they are  cognitive aspect, affective aspect and psychomotoric aspect. In the other mean that education not only to gain in cognitive aspect, but also in affective aspect and psychomotoric aspect of students, but the most important is education is basic right of all people in the world. Some of Indonesian Acts that prevail made education become one of favourite industry commodity in Indonesia, especialy higher education. This tranformation is affected by some main reason, they are First, passion in gaining fund and financial sponsores, also another alternative financial resources to perform their edicational institutions. Second, tight competition in educational institutions in curriculum and quality of  alumnus. And Third, upgrading educational institutions to attracting as much as students. In the other side, there are some weaknesses in this transformationsm they are First, higher education services only could be enjoyed in particular society, could not enjoyed for all of people in Indonesia who need education; Second, heavy curriculum with light credit; Third, clumsy policies in higher education that is higher education in Indonesia only offering full-time students programm with heavy credit points in all subjects; Fourth, mostly universities offering on-campus programm, not offering off-campus progamm yet; Fifth, higher education levels has not appreciate bright academic achievement; Sixth, academic programmes in universities not flexible because only offering college and research, not one of them yet. And the conclusion is higher education quality in Indonesia could be raise up if all stakeholders in higher education, including  policy makers and decision makers would reviewing, evaluating, and make revision in higher education policies in Indonesia periodicly and also considering the feedbacks from other education stakeholders.

 

 

Key words: higher education, industry, stakeholders, basic right.

 

 

 

ABSTRAK

 

UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur tentang aspek-aspek penting yang harus diperhatikan dalam pendidikan yaitu aspek cognitive, affective dan psychomotor. Dengan kata lain program pendidikan tidak hanya menekankan pada aspek pengetahuan (cognitive) tetapi juga menekankan pada pembinaan sikap dan pengembangan keterampilan peserta didik, dan yang terpenting, pendidikan adalah hak dasar setiap manusia di muka bumi ini. Beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia menjadikan institusi pendidikan sebagai salah satu komoditi dalam industri, terutama pendidikan tinggi. Perubahan ini umumnya didorong oleh beberapa alasan utama, yaitu Pertama, hasrat mencari dana dan dukungan finansial serta keinginan menggali sumber-sumber pembiayaan alternatif. Kedua, persaingan yang ketat dengan sesama lembaga pendidikan dalam hal kualitas lulusan. Dan Ketiga, meningkatkan nama lembaga sehingga mampu menarik sebanyak-banyaknya peserta didik. Dengan perubahan menjadi industri pendidikan tingg tersebut, maka akan muncul kelemahan-kelemahan yang harus diperbaiki, yaitu Pertama, pelayanan jasa pendidikan tinggi hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja, belum seluruh rakyat Indonesia; Kedua, kurikulum pendidikan tinggi terlalu padat dengan bobot kredit yang kecil; Ketiga, kebijakan pendidikan tinggi yang kaku yaitu pendidikan tinggi hanya menawarkan program full-time students dengan bobot mata kuliah yang padat SKS; Keempat, kebanyakan perguruan tinggi hanya menawarkan on-campus program dan belum menawarkan off-campus progam; Kelima, stratafikasi pendidikan tinggi belum banyak menghargai prestasi akademik yang gemilang; Keenam, Program akademik di perguruan tinggi tidak fleksibel karena hanya menawarkan program kuliah dan penelitian, tidak salah satunya saja; Akhirnya dapat disimpulkan bahwa mutu pendidikan tinggi di Indonesia akan dapat ditingkatkan kualitasnya dan dapat sejajar dengan kualitas pendidikan tinggi di negeri jiran jika seandainya para pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan tinggi termasuk policy makers (pembuat kebijakan) dan decision makers (pengambil keputusan) sebaiknya mereview, mengevaluasi, dan merevisi kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia secara periodik dengan banyak mempertimbangkan feedbacks atau umpan balik dari stakeholders pendidikan.

 

 

Key words: pendidikan tinggi, industri, stakeholders, hak dasar.

 

 

 

 

 

Latar Belakang

 

Undang - Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No 20 Tahun2003) pasal 1 ayat 1, menyatakan bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara".


UU Sisdiknas diatas telah mengandung aspek-aspek penting yang harus diperhatikan dalam pendidikan yaitu aspek cognitive, affective dan psychomotor. Dengan kata lain program pendidikan tidak hanya menekankan pada aspek pengetahuan (cognitive) tetapi juga menekankan pada pembinaan sikap dan pengembangan keterampilan peserta didik. Oleh karena itu perguruan tinggi hendaknya menjadi institusi yang tidak hanya didominasi oleh nuansa pendidikan dan penelitian tapi juga seharusnya menjadi lembaga yang dapat membina sikap terpuji civitas akademiknya yaitu sikap menghindari tindakan kekerasan (violence) seperti aksi pemukulan atau penganiayaan dan tindakan ketidak jujuran akademis (academic dishonesty) seperti kasus penjiplakan (plagiarism), perjokian, dan cheating (nyontek).

Secara umum pendidikan tinggi terdiri dari dua jalur yaitu jalur akademik dan jalur kejuruan (vokasi). Jalur akademik adalah universitas, institut dan sekolah tinggi yang menawarkan stratafikasi gelar akademik dan spesialis (higher degrees and specialist) dan mencakup program pendidikan S1 (gelar sarjana), S2 (gelar Magister), Spesialis dan S3 (gelar Doktor). Sedangkan Jalur kejuruan atau vokasi, umumnya menawarkan pendidikan kejuruan (vocational education) setingkat program diploma (Ahli Madya). Pendidikan ini umumnya diselenggarakan oleh semua akademi yang ada di Indonesia.

Pendidikan tinggi (higher education) melayani jasa pendidikan tinggi termasuk pemberian pelayanan ilmu Basic Sciences (MIPA), Sciences (Ilmu-ilmu eksakta), Social Sciences and Humanities (Ilmu Sosial dan Humaniora). Pendidikan tinggi berhak menganugrahkan gelar akademik kepada alumninya yang telah memenuhi syarat-syarat akademis sesuai dengan UU Sisdiknas.

 

Namun, biaya pendidikan tinggi yang selama ini sudah amat mahal dikhawatirkan bertambah mahal karena pengelola perguruan tinggi, yang didorong oleh motif ekonomi dan mengikuti hukum pasar, akan menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang komersial, sama seperti barang dagangan lain dalam suatu transaksi perniagaan.

Lazimnya transaksi perniagaan, pertimbangan untung-rugi merupakan faktor penentu dalam pengelolaan perguruan tinggi. Jika pendidikan tinggi sudah menjadi barang komersial berharga mahal, sudah pasti hanya masyarakat kaya yang mampu menjangkaunya. Masyarakat miskin akan kian sulit mendapat akses ke layanan pendidikan tinggi karena keterbatasan kemampuan finansial.

Maka, hak dasar setiap warga negara untuk mendapat pendidikan bermutu sampai ke tertiary education menjadi kian sulit dipenuhi, terlebih karena sejauh ini kemampuan pemerintah dalam melindungi kelompok miskin melalui aneka instrumen kebijakan masih belum memadai.

Padahal, tiga isu besar yang bersifat eternal—affordability, accessibility, accountability—justru merupakan persoalan utama yang harus mendapat perhatian khusus dan harus ditangani serius oleh para perumus kebijakan dan pengelola perguruan tinggi (Heller, 2003).

 

 

Pendidikan adalah Hak Dasar Manusia

 

Pendidikan merupakan oksigen bagi sebuah peradaban. Ia bukan saja memiliki daya dongkrak bagi perkembangan dan kemajuan sebuah negara, melainkan juga sebagai hak dasar bagi setiap manusia di muka bumi ini. Pendidikan tidak semata pendidikan formal, melainkan juga yang bersifat informal dan non-formal. Pada banyak kasus, pendidikan formal lebih banyak berorientasi kepada sistem pengajaran, bukan dan tidak kepada sistem pendidikan. Padahal, didaktik itu jauh lebih penting ketimbang metodik. Berbasis kepada pernyataan tersebut, jika semua pihak sadar sebagai peserta didik, maka semua pihak akan bersama-sama mau belajar saling mendidik. Ketika pendidikan formal sudah menjadi dogma, terbukti justru yang melakukan banyak hal yang tidak terpuji adalah dari kalangan terdidik formal itu. Boleh jadi mereka lebih pintar bahkan mungkin lebih cerdas, tetapi mereka kadang merasa diri pandai. Jika hal seperti itu terjadi, maka hak dasar manusia lain untuk mendapatkan pendidikan menjadi tercederai oleh perilaku semacam arogansi yang dihasilkan dari sistem pendidikan formal.

 

Ketika pendidikan diyakini sebagai hak dasar bagi setiap manusia di masing-masing negara, maka konsekuensinya adalah negara melalui pemerintah memiliki kewajiban mutlak untuk menggerakkan sektor pendidikan sehingga bisa dinikmati oleh semua kalangan, menciptakan peluang dan kesempatan yang sama kepada publik guna mengembangkan pengetahuan dan kapasitas lainnya melalui pendidikan dengan biaya yang terjangkau oleh masing-masing kalangan.

 

Di zaman modern seperti sekarang ini, mau tidak mau pendidikan harus dilaksanakan secara massif, khususnya untuk pendidikan tingkat dasar, pendidikan dasar sembilan tahun, dengan menggunakan sumber anggaran dari sektor pajak. Ini merupakan konsekuensi logis, sebab sekecil apa pun setiap warga negara telah berkontribusi membayar pajak. Oleh karena itu, pemerintah harus menjamin setiap warganya untuk minimal mendapatkan pendidikan dasar, bahkan hingga ke titik gratis.

 

Bukan hanya sebagai ungkapan "terima kasih" pemerintah kepada rakyat yang telah membayar pajak, tetapi memang di dalam diri pemerintah melekat kewajiban dan tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, salah satunya melalui jalur pendidikan.

 

Pendidikan gratis di Indonesia sebenarnya adalah sesuatu yang realistis dilaksanakan, seperti halnya yang dilakukan oleh  Bupati Jembrana yang berhasil nyata menggratiskan pendidikan tanpa mengurangi, bahkan meningkatkan, mutu pendidikan di daerah Kabupaten Jembrana sejak 2000. Kemudian Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) terbukti mampu menepati janji kampanye menggratiskan pendidikan di Provinsi Sumsel pada 2009. Namun Bupati Banyuwangi sempat gagal menepati janji-janji kampanye untuk menggratiskan pendidikan akibat ditentang habis-habisan oleh DPRD Banyuwangi. Karena memang selalu ada yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau lembaga masing-masing ketimbang menjunjung tinggi Pancasila dan mematuhi UUD 1945.

 

 

 

Sejarah Singkat Pendidikan Tinggi
 

Teasdale dan Rhea (2000) dalam bukunya berjudul "Local Knowledge and Wisdom in Higher Education" menyinggung sejarah kejayaan pusat pendidikan dunia pada abad ke-16. Dikatakan bahwa pusat kejayaan pendidikan tinggi dunia pernah terdapat di kota-kota besar dunia pada waktu itu seperti Bagdad, Istanbul, Cordoba dan Kairo. Pada saat itu tidak sedikit bangsa barat dari Eropa yang datang ke kota-kota tersebut untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara barter yaitu menukar hasil pertanian mereka dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pada abad millinium ini pusat kejayaan pendidikan dunia telah berada pada negara-negara berkembang (developed countries) seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Canada, US, Uni Eropa, Australia dan New Zealand. Realita ini diindikasikan dengan banyaknya hasil-hasil penelitian ilmiah (scientific findings) dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (science dan technology) yang telah dipublikasikan di berbagai media, website inernet dan beberapa jurnal ilmiah yang bereputasi dan terakreditasi secara internasional oleh perguruan-perguruan tinggi di negara-negara tersebut. Lagi pula, negara-negara tersebut diatas maju dalam membangun bangsanya karena mereka berpegang pada paradigma "build nation build schools" yang mengandung pengertian kontekstual yaitu "memajukan bangsa melalui pendidikan".

Telah tercatat pula dalam sejarah bahwa pada beberapa dekade yang lalu pendidikan tinggi di Indonesia pernah menjadi kiblat bagi mahasiswa dari negeri jiran seperti Malaysia dan Singapura yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi di Indonesia. Banyak mahasiswa asal negeri jiran tersebut yang belajar di beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia. Namun sayangnya, menurut informasi dari beberapa sumber yang dapat dipercaya melansir bahwa dewasa ini ada lebih banyak jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Malaysia dan Singapura dibandingkan dengan jumlah mahasiswa Malaysia dan Singapura yang belajar di Indonesia.

Sama seperti pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi di Indonesia mengalami pasang surut. Ada beberapa isu dan polemik seputar perkembangan perguruan tinggi di Indonesia yang pernah diberitakan oleh media lokal dan internasiona seperti isu, kualitas pendidikan tinggi, isu universitas perintis, polemik teaching university vs research university, konversi IKIP menjadi universitas dan isu otonomi perguruan tinggi yang ditandai dengan diberinya status perguruan tinggi berbadan hukum (PTBH) bagi UI, ITB, UGM dan IPB sebagai implementasi PP Nomor 61 tahun 1999.
 

 

Industri Pendidikan Indonesia

 

Tentu berbeda antara pengertian industri, pendidikan, industri pendidikan, dan industrialisasi pendidikan. Ketika pengelola TK, SD, SMP, dan SMA plus menerapkan tarif yang membumbung tinggi, maka pertanyaannya, di mana pemerintah? Ketika wacana sekolah gratis digulirkan timbul sinisme bahwa segala sesuatu yangberbau gratis maka kualitasnya rendah, sehingga muncul industrialisasi pendidikan di sektor swasta.  Sebenarnya fenomena tersebut merupakan tamparan telak bagi pemerintah sebab penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah, khususnya di tingkat dasar, bukan hanya untuk menggugurkan kewajiban pemerintah. Semestinya secara inheren harus ada tanggungjawab pemerintah menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan di sekolah negeri.

 

Beberapa ahli menyatakan bahwa pendidikan tinggi bersifat elitis tetapi tidak harus identik dengan biaya mahal. Untuk kalangan yang belum beruntung secara ekonomi, PTN/PTS menyediakan beasiswa dengan salah satu syaratnya adalah kecerdasan. Persoalannya adalah kalau siswa cerdas tetapi kurang mampu secara ekonomi disediakan beasiswa, namun akan berbeda nasibnya pada orang yang tidak cerdas lagi kurang beruntung secara ekonomi. Padahal sama-sama memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Pada persoalan tersebutlah dirasa penting mendekatkan kepentingan industri dengan kepentingan pemerintah di sektor pendidikan. Tentu bisa dibangun sebuah jembatan sinergitas yang kokoh antara industri dan pendidikan. Sekurangnya, karena dunia industri membutuhkan SDM yang berkualitas dan pemerintah pun membutuhkan rakyat yang berkualitas, maka pendidikan bisa menjadi orientasi bersama bagi semua pihak yang bergerak di sektor industri dan pemerintahyang bertanggungjawab di sektor pendidikan.

 

Kendati hak tersebut harus dilakukan secara hati-hati di tengah budaya korupsi yang masih merajalela, sebab jika tidak dilakukan secara hati-hati, alih-alih yang terjadi adalah industrialisasi pendidikan. Bila tidak hati-hati dan cermat mengelolanya, industrialisasi pendidikan dapat memunculkan terjadinya proses eksploitasi oleh kaum kapital dan kaum berkuasa terhadap rakyat.


Kehadiran UU BHP sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi industri. Di negara-negara maju, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan. Pada negara-negara tersebut, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa dan perdagangan yang lain. Lihat sentra- sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat, seperti Boston, New York, California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek—knowledge-and technology-driven economic growth.

Komersialisasi pendidikan tinggi umumnya didorong tiga motif utama. Yaitu Pertama, hasrat mencari uang dan dukungan finansial serta keinginan menggali sumber-sumber pembiayaan alternatif, yang dalam kalangan universitas-universitas Amerika/ Eropa disebut an offer of generous research funding in exchange for exclusive patent licensing rights. Kedua, peluang mengembangkan atau menjual program pendidikan jarak jauh untuk memperoleh keuntungan finansial sebagaimana yang sudah lazim dilakukan di perguruan tinggi di Indonesia. Dan Ketiga, mendapatkan aneka kontrak yang menguntungkan dengan perusahaan/industri melalui pemberian dana, fasilitas, peralatan, bahkan seragam olahraga sebagai imbalan mendapatkan atlet-atlet bertalenta, yang mensyaratkan mereka mengenakan logo perusahaan pemasok dana bagi perguruan tinggi.
 


Arah Perkembangan Industri Pendidikan di Indonesia

Beberapa tahun terakhir ini, pendidikan dengan standar global mengalami masa perkembangan signifikan dengan diserbunya tempat-tempat pendidikan di kota-kota besar. Orang tua rela antri dan bahkan sampai menginap di depan sekolah untuk membeli formulir pendaftaran sekolah TK, SD dan SMP. Demi anak, orang tua rela pindah ke lokasi perumahan tempat sekolah berada karena sekolah lain sudah penuh. Tidak jarang mereka menghabiskan waktu 1 – 2 jam dari subuh mengantar anaknya ke sekolah. Perkembangan ini bisa dicermati khususnya pada sekolah-sekolah yang memiliki jaringan mulai dari TK hingga SMU. Sekolah yang memiliki jaringan luas dari hulu ke hilir, TK hingga SMU, banyak diminati karena orang tua seakan membeli jaminan anaknya bisa meneruskan pendidikan di institusi tersebut, meskipun di setiap tingkat masih harus melakukan investasi tidak sedikit untuk sumbangan sekolah.

Pada pendidikan anak, saat ini yang sedang mengalami perkembangan pesat adalah Montessori, yang merupakan metoda pendidikan dari Maria Montessori. Sekolah berlabel ini bisa mematok harga tinggi karena metode pendidikan yang berbeda, perangkat pendidikan khusus dan pengajar Montessorian yang bersertifikasi. Sekolah-sekolah national plus juga bermunculan seperti High Scope, Global Jaya dan Sekolah Pelita Harapan. Banyak di antaranyanya menggunakan standar luar negeri.

Lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia yang sudah mapan seperti UI, UGM dan Binus tidak mau kalah dengan menggandeng perguruan tinggi luar sehingga siswa bisa mendapat double degree dari dalam dan luar negeri.

Sebagai paradoks, pemerintah kini menutup izin Perguruan Tinggi baru karena Indonesia memiliki jumlah perguruan tinggi salah satu terbanyak di dunia dan sangat banyak di antaranya yang tidak bisa mempertanggung jawabkan fungsinya sebagai pendidik dengan menurunnya jumlah siswa serta banyaknya kasus perguruan tinggi bodong. Sekolah yang tidak memiliki brand kuat banyak yang terengah mencari murid. Kota pendidikan seperti Jogja yang dulu diserbu mahasiswa luar daerah kini mengalami penurunan jumlah siswa secara signifikan. Hanya sekolah dengan brand saja yang bertahan dan malah mampu menambah kursi.


Pendidikan sebagai Industri

Australia mampu menjadikan pendidikan sebagai salah satu industri terbesar penyumbang devisa, di mana pemerintahnya menciptakan standar yang jelas, infrastruktur dan kemudahan bagi sekolah berupa network dan endorsement. Jika kita berkunjung ke sekolah-sekolah di Singapore dan Malaysia, sangat banyak mahasiswa dari Indonesia dan tidak sedikit yang berprestasi sangat baik. Pelajar-pelajar terbaik dari negara tersebut malah menuntut ilmu di negara-negara lain yang lebih berkembang, misalnya Amerika dan Australia. Untuk lebih mendekatkan diri kepada customer, banyak sekolah dari luar negeri masuk ke Indonesia seperti Australia dengan Monash dan RMIT, Malaysia dengan Inti College, India dengan NIIT, Singapore dengan Informatics dan Canada dengan LaSalle College. Model yang digunakan adalah tahun awal belajar di Indonesia dan dilanjutkan di luar negeri, sering disebut sebagai pre-university ataupun kemudahan transfer ke luar negeri.

Maraknya media dengan pameran pendidikan luar negeri menunjukkan kesadaran negara berkembang seperti Amerika, Australia, Inggris, Jepang dan Malaysia mendatangkan siswa dari Indonesia yang banyak mendatangkan devisa. Ada sekolah yang bagus, ada pula yang tidak beres, sekedar memberikan kesempatan mendapat izin tinggal untuk kerja atau menjual sertifikat. Sekembalinya siswa ke Indonesia bisa mengatakan bahwa mereka pernah belajar di luar negeri, sebagai gengsi, strategi positioning personal dan modal untuk mencari kerja tentunya.

President University yang berada di Cikarang mungkin satu-satunya sekolah yang mendapatkan siswa dari China dan Vietnam berkat dukungan beasiswa dari pemain-pemain industri besar. Ini adalah salah satu langkah awal bagi Indonesia untuk bisa masuk ke pasar pendidikan secara internasional.

Beberapa sekolah yang pantas disimak perkembangannya adalah Binus dan Gunadarma. Sekolah ini berkembang dari kursus, ATK (akademi teknik komputer), sekolah tinggi dan akhirnya universitas dalam waktu relatif singkat. Kini Binus menjadi salah satu universitas paling bergengsi dengan gedung di mana-mana, dan menambah portofolionya dengan Binus High dan Binus Training. Di Surabaya, UK Petra berkembang pesat dengan setiap jurusan favorit seperti Komunikasi, Desain Komunikasi Visual dan Ekonomi. Pada tingkat akademik, Bina Sarana Informatika dan Interstudi di Jakarta diikuti ribuan mahasiswa karena mematok harga sangat terjangkau, seperti halnya Wearness di kota Malang dan Denpasar serta SOB (School of Business) juga di Malang.

Model pengembangan lain dalam bentuk franchise seperti yang diterapkan oleh Englisih First, ILP, LP3I dan Primagama sukses membuat cabang di mana-mana. Pemain lain yang juga banyak dikenal di dunia IT adalah Inixindo. Digital Studio yang berkonsentrasi di dunia multimedia dan komputer grafik berkembang menjadi 10 cabang di berbagai kota hanya dalam kurun waktu 4 tahun dan menggandeng partner Metrodata.
Produk Pendidikan di Indonesia

Produk/Komoditasi pendidikan di Indonesia memberikan manfaat positif bagi masyarakat karena terjadi liberasi pengetahuan. Pendidikan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan industri. Daerah yang tadinya tertinggal perkembangannya kini menjadi prospek pasar masa depan dengan daya beli dan kemampuan ekonomi yang besar. Ilmu yang tadinya sulit didapat menjadi mudah diakses oleh banyak orang.

Kursus yang berkonsentrasi pada keterampilan akan melengkapi institusi perguruan tinggi yang banyak berorientasi pada pengetahuan. Pada banyak kasus, mereka yang hanya belajar keterampilan malah mampu melampaui mereka yang belajar di perguruan tinggi saat mereka bekerja. Hal ini mendorong pertumbuhan luar biasa untuk pendidikan luar sekolah dan akademi.

Di jalur kemampuan terapan, ada SMK, akademi (D1, D2, D3 dan D4) yang berkonsentrasi kepada kemampuan terapan. Sedang jalur SMK dan perguruan tinggi (S1) berorientasi pada kemampuan analitis dan riset. Tidak berarti kemampuan terapan lebih rendah dari kemampuan analitis. Asumsi ini timbul karena perbedaan jalur ini kurang dipahami dan kurangnya sosialisasi. Trend ini mulai berubah dengan banyaknya universitas besar menawarkan program Extension dan D1 seperti halnya UI dan UGM.

Direktorat Menengah Kejuruan di bawah kepemimpinan Gatot Hari Priowirjanto sukses melakukan banyak terobosan. Dengan membuat SMK TI, jaringan sekolah SMK telah membantu penyelenggaraan Pemilu 2004 karena para lulusannya siap menjadi operator data entry. Perbaikan kurikulum SMK Grafika mengundang pelaku industri seperti Forum Grafika Digital yang merupakan gabungan vendor dan praktisi dunia pracetak dan cetak. Kini sedang dikembangkan SMK Desain Grafis, Rekayasa Perangkat Lunak dan Multimedia yang lulusannya memiliki kemampuan sebagai operator yang handal dan siap pakai.

Microsoft juga tidak mau kalah dengan program satu sekolah satu lab satu komputer, di mana Microsoft menyediakan secara gratis satu buah komputer bekas (standar Pentium III), software original dan training untuk para guru di setiap sekolah. Dengan menggandeng Pemda dan Telkom, mereka mendorong terciptanya melek IT di seluruh Indonesia karena pemerintah daerah mendukung pendanaan dan infrastruktur koneksi ke Internet. Sayangnya program ini terhenti karena adanya peraturan pemerintah yang melarang PC bekas dilarang masuk ke Indonesia.


Model Pendidikan di Indonesia
 

Sebagai produk, pendidikan juga memiliki cycle dari mulai introduksi ke masyarakat, mulai dikenal hingga menjadi trend. Kursus Bahasa Inggris yang dulu hanya ‘nice to have’, belakangan ini marak di berbagai kota karena telah menjadi kebutuhan yang ‘must have’. English First, ILP dan LIA merupakan beberapa brand yang cukup dikenal publik yang masing-masing menyasar segmen berbeda. Perkembangan luar biasa khususnya dialami oleh English First, dengan brand kuat, bentuk desain logo yang lugas dan dikomunikasikan dengan memasang papan reklame di mana-mana, kini tersebar luas di kota-kota seluruh Indonesia dan mampu melampaui popularitas para jago kandang di tempat mereka berada. Bisa diprediksikan bahwa China yang kini telah menjadi pengekspor terbesar ketiga dunia setelah US dan Jepang bakal mendorong pendidikan Bahasa Mandarin sebagai kebutuhan. Meminjam istilah Geoffrey Moore dalam buku Crossing the Chasm, pendidikan Bahasa Inggris telah melalui ‘chasm’ dari para early adopter ke early majority dan late majority.

Kondisi serupa dialami oleh pendidikan mental aritmetika dan matematika Kumon juga mengalami perubahan market, cukup banyak masyarakat sudah cukup banyak mendengar kelebihan metode ini dan ingin anaknya mengikuti kursusnya. Perbedaannya, Kumon memiliki brand yang dikenal, sedang mental aritmetika sebagai kategori muncul tanpa adanya satu market leader yang tangguh karena lemahnya usaha membangun brand. Tidak ada diferensiasi antara satu tempat belajar yang lain.


Kompetisi Kualitas dan Kuantitas

Komoditasi pendidikan seperti ini menuntut pengelolaan sekolah tidak lagi sebagai institusi yang berorientasi produk, tetapi sekolah perlu menghadapi era kompetisi global yang membutuhkan kemampuan membangun kesan dan mengkomunikasikannya kepada publik. Kurikulum, pengajar, metode pengajaran tidak lagi dipandang menjadi bahan generik, tetapi merupakan bagian dari konsep positioning sekolah.

Mau tidak mau, sekolah dan bidang pembelajaran akan mengalami cycle seperti bisnis lain. Produk yang masih berada di masa formatif sesuai untuk para early adopter sangat membutuhkan product excellence. Untuk berpindah ke market yang lebih besar, kendala yang dihadapi adalah standarisasi kurikulum, modul dan pengajar, juga reduksi cost sehingga harga bisa terjangkau masyarakat luas.

Begitu memasuki era market mainstream dimana mayoritas customer adalah early dan late majority, produk harus mampu memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar, baik dari sisi harga maupun availability. Dalam hal ini institusi harus berkonsentrasi pada distribusi dan marketing, sedang dari sisi kurikulum dan produk mereka akan mulai bermitra atau melisensi. Nama besar dari industri IT sukses menjual kurikulum seperti Cisco dan Microsoft. Menggunakan infrastruktur Internet, semua kurikulum, modul dan pengajaran bisa dideliver dengan standar, di mana pengajar hanya menjadi fasilitator dan pembimbing. Metode lain untuk memperkuat brand adalah menggandeng nama-nama bergengsi untuk terlibat di dalam industri pendidikan seperti Roy Sembel di Binus, Rhenald Kasali di UI.

Konsep positioning dan membentuk kategori yang lebih sempit adalah salah satu strategi di era kompetisi. Jika Binus adalah IT, maka Inixindo adalah IT untuk high-end, Linuxindo adalah IT menggunakan Linux dan Digital Studio adalah multimedia. Strategi diferensiasi juga bisa dimanfaatkan, mulai dari metode pembelajaran, harga, local genius dan banyak lagi. Satu contoh adalah sekolah seni di Solo didatangi siswa dari luar negeri yang ingin mempelajari the real thing di dalam seni tari dan dalang. Montessori dan Kumon adalah diferensiasi dari sisi metode. Franchise dari luar negeri adalah diferensiasi dari awal mula kurikulum berasal. Diferensiasi dari sisi agama juga bisa digunakan seperti sekolah Islam (Al Azhar - Jakarta, Al Izhar - Jakarta), Kristen (UKI - Jakarta, UK Petra - Surabaya) dan Katolik (BPK - Jakarta) yang masing-masing memiliki captive market yang sangat besar.


Membentuk Pasar dari Komunitas

Untuk tetap stay ahead in the competition, tetap diperlukan strategi inovasi dan pengembangan produk di masa depan. Salah satu teknik yang sangat sukses mengidentifikasi kebutuhan pasar adalah dengan membentuk komunitas.

Inggris dengan British Council membuktikan hal ini. Mempromosikan kegiatan budaya akan menarik komunitas awal (disebut alpha pada buku Buzz: Harness the Power of Influence and Create Demand – Marian Salzman) yang akan mempengaruhi komunitas yang lebih besar (disebut bees). Riri Riza dan Ira Kusno sebagai penerima beasiswa dari Inggris adalah para alpha yang menjadi influencer para bees – siswa dan pelajar di British Council yang nantinya mempengaruhi mainstream market. Japan Foundation juga menggunakan metode serupa dengan membawa pendidikan manga dan anime ke Indonesia, mereka mengundang animator senior Indonesia seperti Dwi Koendoro dan Deddy Djoenaid untuk membimbing pembelajaran membuat komik dan animasi.

Pendidikan tinggi di Indonesia telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pembangunan di Indonesia. Beberapa politisi dan negarawan besar seperti presiden RI pertama (the founding father), sejumlah pejabat negara, pengusaha dan ilmuawan ternama telah dihasilkan oleh perguruan tinggi di Indonesia. Universitas ternama (leading universities) di pulau Jawa seperti UI, ITB, IPB, UGM, Unpadj, Unair, Undip serta diluar pulau jawa seperti USU, Unand, Unud, Unhas Unstrat, Unhalu, Untad, Unmul dan beberapa perguruan tinggi negeri lainya termasuk Universitas Negeri (eks IKIP) dan Univ Islam Negeri (eks IAIN) dan beberapa perguruan tinggi negeri lainnya merupakan perguruan tinggi yang telah aktif berpartisipasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi (pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat). Hasil-hasil penelitian staf akademiknya telah dipublikasikan lewat jurnal ilmiah dan diseminasikan lewat seminar,loka karya dan publikasi media.

Perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia ternyata juga banyak didukung oleh partisipasi aktif perguruan tinggi swasta yang jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah perguruan tinggi negeri. Ada banyak perguruan tinggi swasta yang memiliki reputasi atau status akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang sama atau hampir sama dengan perguruan tinggi negeri. Bahkan sebahagian perguruan tingi swasta telah memiliki jurnal ilmiah yang telah terkreditasi. Beberapa perguruan tinggi swasta yang cukup dikenal baik ditingkat lokal maupun tingkat nasional misalnya untuk di pulau Jawa ada Univ Trisakti, Universitas Brobudur, Univ Guna Darma, Unika Atma Jaya, Unas, Unpar Bandung, UII Jokyakarta, Unmuh Malang, Ubaya. Sedangkan di luar pulau Jawa terdapat beberapa PTS yang dapat diperhitungkan dan sebahagian juga telah memiliki jurnal ilmiah. Perguruan tinggi swasta tersebut antara lain seperti Univ Nomensen Medan, Univ Bung Hatta Padang, UMI Makassar, Univ 45, Univ Klabad Manado, STIE/STISIPOL Panca Bakti Palu, Unisa Palu dan Unismuh Palu.

 

Kelemahan Industri Pendidikan Tinggi

Industri  pendidikan di Indonesia yang mengarah ke komersialisasi ini mengandung bahaya bagi lembaga pendidikan yang bersangkutan. Derek Bok dalam Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education (2005) mencatat sejumlah bahaya yang patut diwaspadai. Yaitu yang Pertama, adalah bila godaan mencari keuntungan finansial melalui aneka kontrak dari perusahaan/ industri tak terkendali dan tak dikelola dengan baik, hal itu akan menggiring perguruan tinggi melupakan misi suci (sacred mission) yang harus diemban, yakni melahirkan insan-insan terdidik dan berkeahlian, yang menjadi basis bagi ikhtiar membangun masyarakat beradab dan pilar utama upaya pencapaian kemajuan bangsa.

Kedua, bila sekadar terobsesi oleh motif ekonomi semata, perguruan tinggi akan cenderung mengabaikan fungsi utama sebagai lembaga produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, serta pusat eksperimentasi dan observatorium bagi penemuan-penemuan baru. Padahal, peran hakiki perguruan tinggi adalah the center of knowledge inquiries and technology innovations, yang bukan saja penting untuk memperkuat institusi perguruan tinggi sendiri sebagai pusat keunggulan dan penelitian, tetapi juga akan memberi kontribusi pada ikhtiar membangun peradaban umat manusia.

Ketiga, konflik kepentingan antara dua hal—menggali sumber pembiayaan dan mengembangkan iptek melalui riset ilmiah— berpotensi mengorbankan core academic values karena perguruan tinggi cenderung berkompromi antara pilihan menjaga standar mutu program akademik dan tuntutan mendapatkan dukungan finansial dari perusahaan/industri.

Selain itu, ada beberapa kelemahan atau kekurangan lainnya yang perlu dibenahi karena kebijakan pendidikan tinggi yang kurang efektif dan sangat sentralistik. Antara lain  adalah:

Pertama, pelayanan jasa pendidikan tinggi baru dinikmati oleh mayoritas kalangan keluarga kelas menengah ke atas atau hanya segelintir kalangan kelas menegah ke bawah yang dapat menikmati jasa pendidikan tinggi. Idealnya, pelayanan jasa pendidikan tinggi tidak menciptakan dikotomi dan disparitas terutama berakaitan dengan akses rekrutmen mahasiswa baru. Pejabat perguruan tinggi harus dapat memfasilitasi mahasiswa yang kurang mampu tapi berprestasi untuk memperoleh susbsidi atau beasiswa yang dapat menunjang studi mahasiswa dari kalangan ekonomi lemah tersebut.

Kedua, kurikulum pendidikan tinggi terlalu padat dengan bobot kredit yang kecil (antara 2 sampai 4 sks permata kuliah). Kemudian, penelitian yang memakan waktu satu sampai dua semester ironisnya hanya dinilai dengan bobot sks yang sangat kecil (sekitar 4 sampai 6 sks) jika dibandingkan bobot sks penelitian mahasiswa di luar negeri. Sehingga seharusnya mahasiswa belajar sedikit mata kuliah tapi mendalam (in-depth) seperti yang terjadi di negara-negara maju.

Ketiga, kebijakan pendidikan tinggi yang kaku yaitu pendidikan tinggi hanya menawarkan program full-time students dengan bobot mata kuliah yang padat SKS. Pendidikan tinggi seperti ini sangat membebani mahasiswa terutama yang sudah bekerja karena mereka terbebani oleh bobot SKS yang padat (overloading) ditambah dengan tugas-tugas pokok mereka di instansi pemerintah atau swasta. Seharusnya ada alternatif untuk menawarkan program part-time students yang dapat meringankan beban mahasiswa yang sudah bekerja walaupun program pendidikannya relatif lebih lama tapi pasti.

Keempat, kebanyakan perguruan tinggi hanya menawarkan on-campus program dan belum menawarkan off-campus progam. Akibatnya, banyak mahasiswa yang kebenaran harus pindah ke kota lain oleh karena tuntutan ekonomi atau tugas kantor terpaksa harus bolos atau berhenti kuliah. Padahal program off-campus (distant learning) mungkin dapat menjadi solusi bagi mereka yang ingin meningkatkan kemampuannya dengan melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi namun tidak harus selalu ke kanmpus, seperti yang ditawarkan oleh Universitas Terbuka.

Kelima, stratafikasi pendidikan tinggi belum banyak menghargai prestasi akademik yang gemilang, misalnya untuk melanjutkan pendidikan S3 seorang mahasiswa harus menyelesaikan pendidikan S2 dulu walaupun mahasiswa yang bersangkutan mendapat nilai Cum-laude. Dengan kata lain pendidikan tinggi kita belum menawarkan program honours seperti kebanyakan perguruan tinggi di luar negeri, yaitu bagi mahasiswa S1 yang mendapat nilai Cum-laude bisa langsung mengambil program S3 (leading to PhD) tanpa melalui pendidikan Magister (S2).

Keenam, Program akademik di perguruan tinggi tidak fleksibel karena hanya menawarkan program kuliah dan penelitian (combined course work dan research), idealnya perguruan tinggi juga menawarkan beberapa pilihan program pendidikan misalnya, program research student (mahasiswa peneliti melalui bimbingan), Combined course work (seperti di Indonesia) dan pure course work (jalur mata kuliah tanpa penelitian) yang mungkin cocok untuk praktisi atau pekerja profesional. Melalui program seperti ini mahasiswa diberi kebebasan untuk memilih salah satu jenis jalur pendidikan tinggi yang diinginkan sesuai dengan minat dan kemampuannya. Program seperti ini sebenarnya sangat fleksibel dan mungkin sangat menguntungkan mahasiswa.

Selanjutnya, untuk program combined course work atau kuliah dan setelah itu diikuti dengan tugas akhir kegiatan penelitian, misalnya seperti versi di Indonesia. Program ini sebaiknya direvisi menjadi program yang lebih fleksibel yaitu mahasiswa ditawarkan salah satu dari beberapa alternatif  program pendidikan tinggi, pertama " program yang bobot sks mata kuliah lebih banyak misalnya 80 % dan bobot penelitian lebih kecil atau sekitar 20 % atau sebaliknya mata kuliah 20 % dan bobot penelitian 80 % dan atau fifty-fity yaitu 50 % bobot mata kuliah dan 50% penelitian.
 

Dalam melakukan evaluasi program pendidikan seharusnya bersifat fair dan tidak diskriminatif. Selama ini evaluasi dan assessment pendidikan baru diterapkan secara sepihak. Dengan kata lain, setiap semester hanya mahasiswa yang dievaluasi hasil belajarnya misalnya, melalui tengah semester dan akhir semester. Seharusnya perguruan tinggi juga melakukan evaluasi kinerja staf dosen (academic performance) misalnya melalui penyebaran angket kepada mahasiswa setiap akhir semester. Angket tersebut harus diisi oleh mahasiswa dengan tujuan untuk memberikan umpan balik atau penilaian mengenai kemampuan mengajar dosen yang bersangkutan.

Di samping itu, perguruan tinggi haruslah merancang program orientasi mahasiswa baru yang menekankan pada program orientasi yang bersifat informatif dan edukatif karena beberapa waktu yang lalu program orientasi mahasiswa banyak diwarnai oleh kegiatn perpeloncoan yang bersifat kurang mendidik dan mungkin membuka peluang terjadinya tindakan kekerasan dan aksi balas dendam sesama mahasiswa yang berbeda angkatan. Saya kira kini sudah saatnya perguruan tinggi merubah paradigma program orientasi mahasiswa baru, yaitu pertama materi program orientasi mahasiswa baru harus bersifat informatif yakni pemberian informasi yang cukup komprehensif dan lugas mengenai fasilitas pembelajaran yang tersedia dan cara pemamfaatannya serta beberapa informasi penting dan relevan mengenai statuta perguruan tinggi. kedua, program orientasi haruslah bersifat mendidik (edukatif), misalnya memberikan pengenalan materi kepada mahasiswa baru mengenai mekanisme pebelajaran di perguruan tinggi yang jauh beberbeda dengan model pebelajaran di sekolah menengah.

 

Model Pendidikan di Indonesia pada Masa Depan

Kategorisasi pendidikan tidak lagi hanya terbatas dari sisi fasilitas yang tangible, terobosan-terobosan model pembelajaran akan terus bermunculan dan banyak akan muncul dalam bentuk intangible. Contohnya seperti home schooling, yang populer di kalangan gereja, atau e-learning yang meskipun saat inipun di negara maju tingkat keberhasilan masih di bawah 30%, masih terus mengalami evolusi sehingga bisa diterima publik.

Moore’s Law mengatakan bahwa prosesor akan memiliki kecepatan 2 kali lipat setiap 18 bulan dengan harga sama. Hal sama terjadi pada GPU (graphical processing unit) atau kemampuan kartu grafik komputer menampilkan gambar, hanya di sini nilai tersebut dikuadratkan. Artinya, dalam waktu beberapa tahun, kita akan memiliki kemampuan tampilan seperti gambar bioskop dengan hampir real time untuk game. Saat ini di dunia industri game sudah lebih besar dari industri film. Model pembelajaran masa depan akan menggunakan game sebabagai simulator, mulai dari pelajaran kreativitas, strategi hingga pembentukan karakter bisa dilakukan dengan game.

Macromedia membuat model computer-based training menggunakan Director, Dreamweaver, Flash, dan Breeze untuk membuat online interactive learning atau webinar (web seminar). Adobe dengan produk Acrobat mencoba menciptakan standar archival untuk digital library yang bisa disearch dengan mudah. Infrastruktur ini akan dimanfaatkan sebagai knowledge database system yang bisa diakses di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Standarisasi melalui tes tidak lagi dilakukan dengan kertas, tetapi online seperti yang sudah ditunjukkan oleh brainbench.com

 

Kesimpulan

 

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pertama, Pemerintah seharusnya memfasilitasi masyarakat agar mudah dan murah dalam mengenyam pendidikan dari tingkat dasar hingga tingkat yang tertinggi, baik memalui kebijakan maupun melalui anggaran. Kedua, Pendidikan Tinggi di Indonesia memang telah masuk salah satu komoditas yang menjanjikan keuntungan, mengingat banyaknya masyarakat yang ingin mengenyam pendidikan lebih baik. Ketiga, Dalam arus industri pendidikan tinggi tersebut, sistem atau model pelaksanaan pendidikan di perguruan tinggi yang kaku seharusnya diubah menjadi lebih fleksibel agar lebih kompetitif dan menarik pelajar, baik dalam maupun luar negeri. Dan Keempat mutu pendidikan tinggi di Indonesia dapat tingkatkan kualitasnya sehingga dapat sejajar dengan kualitas pendidikan tinggi di negeri jiran jika seandainya stakeholders pendidikan tinggi termasuk policy makers (pembuat kebijakan) dan decision makers (pengambil keputusan) sebaiknya mereview, mengevaluasi, dan merevisi kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia secara periodik dengan banyak mempertimbangkan feedbacks atau umpan balik dari stakeholders pendidikan.

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

 

Alhumami, Amich. 2009. Industri Pendidikan Tinggi. www.dikti.org

 

Banathy, Bela H. 1991. Systems Design of Education. A journey to create the future. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications.

 

Boediman, Andi S. 2004. Marketing & Branding Industri Pendidikan. http://andisboediman.blogspot.com/2004/06/marketing-branding-industri-pendidikan.html

 

Bok, Derek. 2003. Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education. Princeton University Press. New Jersey.

 

Dabbagh, Nada & Brenda Bannan-Ritland. 2005. Online Learning. Concept, strategies and application. Columbus,OH : Pearson.

 

Heller, D.E, 2001. The states and public higher education policy: Affordability, access, and accountability, The Johns Hopkins University Press.

 

Lie, Anita. 2007. Membedah Industri Pendidikan Tinggi. www.stbalia.ac.id

 

Marhum, Mochtar. 2009. Prospek Pendidikan Tinggi Di Indonesia. http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=30102

 

Mariana, Dede. 2010. Industri (dan) Pendidikan. http://bataviase.co.id

 

Miarso, Yusufhadi. 2008.  Pengembangan Terkini  Sistem Pendidikan dan Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Unpublished Paper.

 

Munawaroh,  Munjiati. 2005. Analisis Pengaruh Kualitas Jasa  Terhadap Kepuasan Pada Industri Pendidikan di Yogyakarta. Jurnal Siasat Bisnis Edisi Khusus JSB on Marketing.

 

Reigeluth, Charles M. and Robert J. Garfinkle.  1994. Systemic Change in Education. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications 

 

Teasdale, G.R. and Z. Ma Rhea. 2000. Local Knowledge and Wisdom in Higher Education. Pergamon Press. United Kingdom.

 

 

 

 

 

Pemetaan Perguruan Tinggi di Indonesia menggambarkan komposisi lembaga pendidikan tinggi ditinjau berdasarkan bentuk pendidikan yang terdiri atas Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi dan Politeknik, serta jumlah program studi yang dimiliki.

 

Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Republik Indonesia, jumlah Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia pada tahun ajaran 2007/2008 berjumlah 2.945 buah, dengan jumlah Program Studi sebanyak 15.011 buah.

 

Dilihat dari bentuk pendidikan, jumlah terbesar dari Perguruan Tinggi yang berbentuk Sekolah Tinggi, adalah sebanyak 1.293 buah atau 43,20% dari seluruh Perguruan Tinggi. Sementara jumlah terbesar dari Program Studi adalah di universitas, yaitu sebanyak 8.759 buah atau 57,93%, atau dengan kata lain lebih dari separuh Program Studi yang ada.

 

Berdasarkan status kepemilikannya, Perguruan Tinggi terdiri dari Perguruan Tinggi milik negara atau yang dikenal dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi milik masyarakat yang disebut dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS).

 

Pada tahun ajaran 2007/2008, Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia berjumlah 2.945, dengan 15.011 Program Studi, 244.297 dosen tetap dan 3.282.049 mahasiswa aktif.

 

Dari jumlah di atas, mayoritas perguruan tinggi adalah PTS sebanyak 2.863 buah (97,22%) dengan Program Studi sebanyak 11.245 atau sekitar 74,91%. PTN sendiri berjumlah 82 (2,78%), dengan Program Studi sebanyak 3.766 atau sekitar 25,09% dari seluruh program studi.

 

Jumlah mahasiswa aktif terbesar dimiliki PTS, yaitu sebanyak 2.077.369 mahasiswa atau 63,29%, dengan jumlah dosen tetap sebanyak 101.510 orang atau 41.55%. Sedangkan jumlah mahasiswa aktif di PTN adalah sebanyak 1.204.680 atau 36,71% dengan jumlah dosen tetap sebanyak 142.787 orang atau 58.45%.

 

comments powered by Disqus