PENEGAKAN HUKUM DAN PERBAIKAN KINERJA DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DI DAERAH Oleh Ditulis oleh: Charles Bohlen Purba 3 February 2015 Dilihat: 6076 kali Download Lampiran Disini PENEGAKAN HUKUM DAN PERBAIKAN KINERJA DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DI DAERAH Oleh Charles Bohlen Purba Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Email : bohlenpurba@yahoo.com) ABSTRAC Citizens welfare havent exist in indonesia yet it’s marked byhigh rates of poverty (range12-17,8 %). It is alleged by the State financial management that has not been good especially in remote areas and the quality low of HUMAN RESOURCES. The analysis used in this research consists of a descriptive analysis, regression analysis, and analysis of hierarchy (AHP). APBN Budget allocation for regional spending hover around 30 % s.d. 33 % annually, and in 2011 reached Rp. 412.507,9 billion ( 31 % of total state spending ). The WTP opinion of the State authority in the management is just about 3,22% (still many irregularities). The relation of the number of prosecution ( JT ) with the amount of money the state of being were saved ( NUT ) was formulated by NUT = 193230529,166jt + 89740959,026 to prosecution prosecutor ' s office and NUT= 70776704212,589jt + 8599940548142,513 to the improvement of KPK, where to now, only prosecution prosecutors felt its impact ( sig = 0.00 ). Compulsory or obligatory bureaucratic reform runs clearly obvious target (RK = 0,245, inconsistency 0.03) becomes the first priority strategies for the improvement of the performance of countries in the area of financial management. Keywords: financial, performance,actionning, strategy priorities ABSTRAK Kesejahteraan bagi rakyatnya belum terwujud di Indonesia yang ditandai oleh angka kemiskinan yang tinggi (berkisar 12-17,8 %). Hal ini diduga oleh pengelolaan keuangan negara yang belum baik terutama di daerah terpencil dan kualitas SDM-nya rendah. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari analisis deskriptif, analisis regresi, dan analisis hirarki (AHP). Alokasi APBN untuk belanja daerah berkisar sekitar 30% s.d. 33% setiap tahunnya, dan pada tahun 2011 mencapai Rp. 412.507,9 milyar (31% dari total Belanja Negara). Opini WTP dalam pengelolaan kewenangan negara hanya sekitar 3,22 % (masih banyak penyimpangan). Hubungan jumlah penindakan (JT) dengan jumlah uang negara yang terselamatkan (NUT) dirumuskan dengan NUT = 193230529,166JT + 89740959,026 untuk penindakan kejaksaan dan NUT = 70776704212,589JT + 8599940548142,513 untuk peningkatan KPK, dimana untuk saat ini baru penindakan kejaksaaan terasa dampaknya (sig =0,00). Compulsory atau wajib menjalankan reformasi birokrasi dengan jelas target jelas (RK = 0,245, inconsistency 0,03) menjadi strategi prioritas pertama untuk perbaikan kinerja pengelolaan keuangan negara di daerah. Kata kunci : keuangan negara, kinerja, penindakan, strategi prioritas 1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan sumber daya alam baik di bidang pertanian, kelautan, kehutanan, pertambangan minyak dan gas, serta mineral. Namun sampai saat ini, Indonesia belum dapat mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Hal ini terlihat dari angka kemiskinan yang tinggi dan belum menunjukkan penurunan yang berarti dari tahun ke tahun. Angka kemiskinan pada periode tahun 2005-2010 berturut-turut mencapai 16,0%, 17,8%, 16,6%, 15,4%, 14,2% dan 12,0%. Angka kemsikinan tersebut sangat tinggi, misalnya bila dibandingkan dengan Malaysia dan RRC yang per 1 Januari 2011 hanya masing-masing sekitar 4% dan 3%. Dibandingkan dengan Negara tetangga Malaysia dan RRC, PDB/Kapita Indonesia masih jauh berada di bawahnya. Pada 2010, Malaysia berada di urutan 68, dengan PDB/kapita sebesar US$ 8.373, RRC di urutan 100 dengan nilai US$ 4.393, dan PDB/Kapita Indonesia berada di urutan 116 dengan nilai US$2.926 (DPD, 2011). Hal tersebut terjadi karena penegakan hukum yang masih lemah dalam pengelolaan keuangan negara sehingga banyak terjadi penyimpangan dan pemanfaatannya tidak banyak menyentuhkan sebagian besar rakyat Indonesia terutama untuk kalangan kelas bawah. Kebijakan otonomi daerah yang mengatur alokasi APBN yang dikelola secara mandiri oleh daerah merupakan salah sumber penyimpangan pengelolaan keuangan negara, dimana banyak terjadi korupsi pada tingkat penyelenggara negara di daerah. KEMENKEU (2011) menyatakan bahwa alokasi APBN ke daerah terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, serta dana otonomi khusus dan penyesuaian. Alokasi dana yang besar tersebut belum disertasi dengan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas, sehingga dalam pengelolaannya belum dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat di daerah. Hal ini yang menfokus kajian yang dilakukan dalam penelitian ini. 2. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan : 1. Menganalisis alokasi dan tingkat penyimpangan pengelolaan keuangan negara di daerah. 2. Menganalisis hubungan penindakan hukum dengan jumlah uang negara yang terselamatkan dalam pengelolaan keuangan negara. 2. Merumuskan strategi prioritas perbaikan kinerja pengelolaan keuangan negara di daerah. 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan mulai Februari – April 2012. Penelitian ini bertempat di Jakarta dengan didukung oleh data yang berasal dari daerah. 3.2 Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara responden. Data primer mencakup data persepsi responden terhadap pengelolaan keuangan negara di daerah, penyimpangannya, dan opsi strategi yang ditawarkan. Responden terdiri dari unsur masyarakat, penyelenggara negara, dan penegak hukum. Data sekunder merupakan data yang paling banyak digunakan dalam penelitian ini. Data sekunder terdiri data time series pengalokasian APBN untuk daerah, data status opini pemeriksaan keuangan negara, data penindakan/penegakan hukum, dan data jumlah keuangan negara terselamatkan berdasarkan putusan MA. Data tersebut berasal dari penelusuran literatur dan laporan di Departemen Keuangan, Kejaksanaan, KPK, Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), salinan putusan kasus korupsi oleh MA, dan lainnya yang relevan. 3.3 Analisis Data 3.3.1. Analisis Deskriptif Analisis ini dilakukan untuk menentukan alokasi APBN untuk belanja daerah dan mengetahui tingkat penyimpangannya. Analisis ini dimulai dengan mengidentifikasi alokasi APBN untuk belanja setiap daerah setiap tahunnya dan menganalisis peluang penyimpangannya. Hasil identifikasi dan analisis tersebut kemudian diolah dalam bentuk grafik atau tabel yang memudahkan dipahami. 3.3.2. Analisis Regresi Analisis regresi untuk menganalisis hubungan penindakan hukum yang dilakukan oleh kejaksaaan dan KPK dengan jumlah uang negara yang terselamatkan dari kasus korupsi. Untuk mendapatkan pola hubungan yang tepat, maka dikembangkan pendekatan dependensi dan independensi. Oleh karena jumlah uang negara yang terselamatkan hanya dapat dtentukan bila ada penindakan berdasarkan putusan pengadilan, maka jumlah uang negara yang terselamatkan ini menjadi variebel dependent, sedangkan jumlah penindakan (diwakili jumlah kasus ditindak/orang didakwa) menjadi variabel independent. Selanjutnya untuk memvalidasi hasil analisis regresi yang didapat digunakan uji R-square dan uji signifikasi (Sarwono, 2006). Nilai R-square akan menentukan seberapa besar perubahan jumlah penindakan mempengaruhi perubahan jumlah uang negara yang terselamatkan, sedangkan uji signifikansi digunakan untuk mengetahui keseriusan dampak penindakatn yang dilakukan. Pengaruh penindakan dikatakan berdampak bila mempunyai signifikansi (sig) <0,05. Analisis regresi ini dilakukan menggunakan sofware SPSS 20.0. 3.3.2 Analisis hierarki Analisis hireraki atau yang juga dikenal dengan analytical hierarchy process (AHP) digunakan untuk merumuskan prioritas strategi untuk perbaikan kinerja pengelolaan keuangan negara di daerah, setelah melihat alokasi APBN untuk belanja daerah, penyimpangan, dan penindakan yang dilakukan oleh aparat penegakan hukum. Terkait dengan ini, maka hierarki analisis dikembangkan dengan mempertimbangkan semua kondisi atau kriteria tersebut, serta kepentingan stakeholders terkait dalam pengelolaan keuangan negara di daerah. Semua pertimbangan tersebut menjadi lingkup penting dalam pendefinisian masalah/komponen untuk pengembangan strategi. Selanjutnya komponen terpilih dikelompokkan sesuai stratanya, dan disusun ke dalam hierarki AHP. Komponen dalam hireraki akan dianalisis secara horizontal dan vertikal menggunakan skala banding berpasangan. Skala banding berpasangan yang digunakan dan pembobotannya mengacu kepada kepada Saaty (1993). Selanjutnya dengan menggunakan sofware Expert Choice 9.5, setiap opsi strategi diperbandingkan keunggulannya dalam mengakomodir komponen-komponen yang menjadi pertimbangan, dan dari hasil analisis ini didapatkan rumusan strategi dalam skala prioritas untuk perbaikan kinerja pengelolaan keuangan negara di daerah. Hasil analisis dapat dipercaya bila nilai inconsistency (RI) < 0,1. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Alokasi APBN dan Penyimpangannya di Daerah 4.1.1 Pengalokasian APBN untuk Belanja Daerah Setiap tahunnya, APBN dialokasikan untuk belanja pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini dilakukan untuk mendukung kegiatan pembangunan yang terjadi di seluruh tanah air dan untuk operasional pemerintahan. Alokasi APBN ke pemerintah daerah (PEMDA) cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011, alokasi tersebut mencapai Rp. 412.507,9 milyar atau sebesar 31% dari total Belanja Negara. Alokasi APBN untuk belanja pemerintah daerah dalam 6 tahun terakhir disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Alokasi APBN untuk belanja negara dan belanja daerah tahun 2006-2011 Alokasi Rp. 412.507,9 milyar transfer ke pemerintah daerah tersebut terdiri dari Dana Bagi Hasil Rp.96.772,1 milyar dan dana Alokasi Umum Rp.225.533,7 milyar, Dana Alokasi Khusus Rp.25.232,8 milyar, dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian Rp.64.969,3 milyar (KEMENKEU, 2011). Bila dibandingkan dengan alokasi total Belanja Negara dalam 6 tahun terakhir (periode tahun 2006-2011), maka alokasi APBN untuk belanja daerah berkisar sekitar 30% s.d. 33%. Sedangkan alokasi sekitar 66% s.d 70% digunakan untuk belanja pemerintah pusat. Terlepas dari ini semua, Belanja Negara yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun terutama untuk belanja daerah, hendaknya diarahkan dan dikelola untuk sebesar-besar kepentingan rakyat dan dipertanggung-jawabkan kepada rakyat (public accountability). Alokasi APBN ke daerah terkadang dijadikan baramoter keseriusan pemerintah pusat dalam menerapkan otonomi daerah. Alokasi APBN untuk transfer daerah yang cenderung meningkat setiap tahunnnya telah menjadi indikasi baik menuju kemandirian daerah. Namun demikian, alokasi yang berkisar 30% s.d. 33% tidak terlalu mencolok mengingat banyaknya daerah otonomi dan wilayah Indonesia yang sangat luas. Pengaturan alokasi ini sebenarnya tidak sederhana, mengingat ada kondisi dimana suatu jenis belanja tidak dapat dengan mudah dibagi antara pusat dan daerah karena hal tersebut menyangkut kepentingan nasional, seperti masalah keamanan, pertahanan, penegakan hukum, perhubungan, laut, udara, dan lainnya. Kepentingan nasional yang menyangkut keutuhan negara dan hajat hidup berbangsa tetap harus dikendalikan secara nasional dan harus menjadi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat (Rohamn, 2010). Sepanjang kinerja pemerintah dapat dirasakan manfaat secara nyata oleh rakyat, maka pengalokasian tersebut tidak perlu dipersoalkan karena kepentingan rakyat telah didahulukan sebagai tujuan utama dari kehidupan bernegara, dan pada posisi ini profesionalisme pengelolaan negara muncul (Perera, et. al 2012). Pelaksanaan program-program yang bersumber dari dana dekonsentrasi, dana alokasi khusus, dan dana penyesuaian harus secara nyata dapat memberi manfaat bagi rakyat, apalagi jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun secara persentase nampaknya kecil, namun jumlah absolutnya mencapai Rp.25.000 milyar (DAK) di tahun 2011, dana alokasi khusus dan dana penyesuaian mencapai hampir Rp.65.000 milyar. Namun demikian, pengelolaannya selama ini belum maksimal dan kerap menimbulkan indikasi penyeleweangan. Laporan akuntabilitas yang menyangkut efektivitas penggunaan dana-dana tersebut masih harus dikaji lebih dalam. Kinerja harus diukur dari output dan outcomes dalam bentuk hasil fisik, perbaikan pelayanan, dan peningkatan kemakmuran rakyat. 4.1.2 Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara di Daerah Hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) menunjukkan adanya sedikit perbaikan dalam akuntabilitas pengelolaan keuangan negara dari tahun ke tahun. Namun bila dibandingkan dengan opini harapan, yaitu pengelolaan yang Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), maka capaian saat ini masih sangat rendah (hanya 3,22 %). LKPD yang mendapatkan opini WTP masih di bawah 10% ini, bahkan terjadi kejanggalan dimana pada tahun 2005, terdapat 18 LKPD yang mendapatkan opini WTP, kemudian turun di tahun 2006 dan 2007 tinggal 3 dan 4 LKPD yang WTP. Baru kemudian pada 2008 sedikit meningkat menjadi 13 LKPD yang WTP, naik menjadi 15 dan 32 LKPD yang WTP di tahun 2009 dan 2010. Hal ini terjadi dominan karena pelaksanaan otonomi daerah yang belum optimal dan transparan, sementara pengawasan dan penegakan hukum yang masih lemah dan belum menyentuh semua birokrasi pengelolaan yang ada (Muthaleb, 2007 dan Tao, et. al, 2004). Gambar menyajikan tentang dinamika status opini pengelolaan keuangan negara dari tahun 2006-2011. Gambar 2. Dinamika status opini pengelolaan keuangan negara dari tahun 2006-2011 Status opini yang diberikan dalam suatu pemeriksaan laporan keuangan memberikan suatu indikasi kualitas pencatatan, pengadministrasian dan pemeliharaan keuangan entitas pelapor yang rendah dibandingkan dengan prinsip dan standard akuntansi yang berlaku (UU 15/2004). Dengan demikian, status WTP bukanlah suatu jaminan bahwa pengelolaan keuangan entitas pelapor tersebut sudah efektif dan terhindar dari kasus korupsi. Menurut KEMENKEU (2010) dan Rohman (2010), untuk mengetahui efektifitas pengelolaan keuangan, harus dilakukan kajian terhadap laporan keuangan dan kinerja entitas yang bersangkutan. Kasus korupsi masih tetap bisa terjadi walaupun entitas yang bersangkutan memperoleh opini WTP. Hanya penyelidikan atau indikasi terjadinya korupsi akan lebih mudah diketahui atau indikatornya mudah terbaca bila entitas pelapor memiliki laporan keuangan yang WTP. Banyaknya status Wajar Dengan Pengecualian (WDP), bahkan status opini Tidak Wajar (TW) dan Tidak Memberi Pendapat (TMP) menunjukkan masih sangat lemahnya sistem pencatatan, pengadministrasian keuangan negara, terutama di daerah-daerah yang lokasinya terpencil dan kualitas sumberdaya manusiannya rendah. Hal ini merupakan indikator masih buruknya penyelenggaraan pencatatan dan pembukuan keuangan negara yang terjadi di daerah, dan pemerintah pusat seyogyanya segera menetapkan regulasi yang tepat untuk penanganannya (Tao, et. al, 2004). 4.2. Hubungan Penindakan Hukum dengan Jumlah Uang Negara Yang Bisa Diselamatkan 4.2.1. Penindakan oleh Kejaksaan Penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara yang disebutkan pada Bagian 4.1, sedikit banyak membawa dampak berupa terjeratnya sejumlah penyelenggara negara dengan kasus korupsi. Jumlah terdakwa korupsi yang ditangani oleh kejaksaan dan KPK juga sedikit banyak akan mempengaruhi jumlah uang negara yang bisa diselamatkan. Sebelum tahun 2002, kasus korupsi ditangani sendiri oleh kejaksaan, sedangkan mulai tahun 2002 kasus korupsi ditangani oleh kejaksanaan dan KPK. Pembentukan KPK didasarkan pada UU 30/2002, meski KPK baru menangani kasus secara efektif pada tahun 2005. KPK lebih difokuskan untuk menangani kasus korupsi yang berskala besar dan atau melibatkan oknum pejabat negara yang mempunyai jabatan strategis. Tiga tahun pertama digunakan oleh KPK untuk melakukan segala hal terkait dengan sosialisasi dan berbagai persiapan internal yang diperlukan. Idealnya, data tahun 2001-2002 bisa digunakan sebagai baseline, namun ketika itu, ternyata tidak ada kasus korupsi di atas Rp 1 Miliar yang ditangani MA. Sedangkan pada tahun 2003 dan 2004 terdapat beberapa kasus dengan nilai Rp 1 miliar atau lebih, tetapi masih ditangani pihak kejaksaan (karena KPK masih dalam tahap sosialisasi). Dalam kaitan dengan penindakan, kejaksaan dan KPK mempunyai fokus tersendiri dalam mengungkap kasus korupsi yang terjadi dan tanah air, terutama terkait dengan jumlah kerugian negara yang ditimbulkannya. Tabel 1 menyajikan hubungan jumlah penindakan (jumlah terdakwa korupsi yang ditangani) oleh kejaksaan dengan jumlah uang negara yang bisa diselamatkan. Tabel 1. Hubungan jumlah penindakan oleh kejaksaan dengan jumlah nilai uang negara yang bisa diselamatkan. Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) 89740959,026 1781406697,039 ,050 ,961 JT 193230529,166 22461671,597 ,962 8,603 ,000 a. Dependent Variable: NUT Berdasarkan Tabel 1, hubungan jumlah penindakan (JT) oleh kejaksaan dengan jumlah uang negara yang terselamatkan (NUT) bisa dirumuskan dengan persamaan : NUT = 193230529,166JT + 89740959,026 Mengacu kepada persamaan ini, setiap penambahan satu kasus/orang yang ditindak (menjadi terdakwa), maka jumlah uang negara yang terselamatkan meningkat sebesar Rp 192.230.529,116. Hubungan tersebut mempunyai signifikansi < 0,05 (yaitu 0,00), yang berarti bahwa jumlah penindakan (JT) oleh kejaksaan mempengaruhi secara signifikan jumlah uang negara yang terselamatkan (NUT). Persamaan regresi yang dikembangkan mempunyai R-square 0,925, yang berarti perubahan jumlah penindakan oleh kejaksaan dapat menjelaskan 92,5 % naik-turunnya jumlah uang negara yang terselamatkan. Hal ini memberi indikasi bahwa apa yang dilakukan selama ini oleh kejaksaan dalam lingkup kewenangannya telah memberikan hasil cukup baik bagi pemberatasan korupsi dan penyelamatan keuangan negara. Bila melihat sebaran kasus korupsi yang ditindak kejaksaan, maka sebagian besar menyangkut pengelolaan keuangan negara di daerah baik oleh kabupaten/kota maupun propinsi, dan umumnya merupakan kasus korupsi yang terjadi di luar jawa. Menurut DPD (2011) rata-rata jumlah terdakwa luar jawa yang ditindak oleh kejaksaan setiap tahunnya selama tahun 2001-2008 sekitar 40 orang, sedangkan di jawa hanya sekitar 22 orang. 4.2.1. Penindakan oleh KPK Berbeda dengan kejaksaaan yang menempatkan semua personil di daerah, KPK lebih memilih kasus korupsi yang ditanganinya karena keterbatasan sumberdaya dan juga untuk mengakomodir maksud dibentuknya KPK, yaitu memberantas korupsi yang berdampak luas. Untuk mewujudkan maksud tersebut, KPK diberi kewenangan yang luas oleh undang-undang melebihi aparat penegak hukum lainnya (UU 30/2004). Tabel 2 menyajikan hubungan jumlah penindakan (jumlah terdakwa korupsi yang ditangani) oleh KPK dengan jumlah nilai uang negara yang bisa diselamatkan. Tabel 2. Hubungan jumlah penindakan oleh KPK dengan jumlah nilai uang negara yang bisa diselamatkan Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) 8599940548142,513 11289600714938,445 ,762 ,489 JT 70776704212,589 226411721096,372 ,154 ,313 ,770 a. Dependent Variable: JUT Bila melihat Tabel 2 tersebut, maka dapat dirumuskan hubungan jumlah penindakan (JT) oleh KPK dengan jumlah uang negara yang terselamatkan (NUT) seperti : NUT = 70776704212,589JT + 8599940548142,513 Persamaan tersebut memberi pengertian, bahwa setiap penambahan kasus/satu orang yang ditindak (menjadi terdakwa) oleh KPK, maka jumlah uang negara yang terselamatkan meningkat sebesar Rp 70.776.704.212,589. Bila nilai ini dihubungkan dengan jumlah uang yang diselamatkan oleh KPK untuk setiap penambahan satu kasus, maka uang negara yang diselamatkan tergolong besar. Dari kasus korupsi yang ditindak KPK selama ini, sebagian besar melibatkan keuangan negara yang dikelola oleh pemerintah pusat. Sedangkan kasus korupsi yang berasal dari pengelolaan keuangan negara di daerah yang ditangani KPK saat ini, umumnya melibatkan pimpinan daerah seperti gubernur dan bupati/walikota. Meskipun jumlah uang negara yang bisa diselamatkan cenderung lebih banyak oleh KPK, namun hubungan jumlah penindakan (JT) oleh KPK tersebut dengan jumlah uang negara yang terselamatkan (NUT) belum signifikan (nilai signifikansi di atas 0,05, yaitu 0,770). Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan KPK dalam menindak penyimpangan pengelolaan keuangan negara selama ini belum seberapa dibandingkan dengan jumlah uang negara yang diselewengkan. Menurut Rohman (2010), penindakan yang ada belum membuat efek jerah karena kasus korupsi keuangan negara di pusat dan daerah terus terjadi. Meskipun pada tahun 2004-2005, penindakan oleh KPK terus digenjot, tetapi kasus korupsi cenderung meningkat pada tahun-tahun berikutnya, seperti tahun 2007 yang menjadi terdakwa dan ditindak mencapai 59 orang dan tahun 2008 meningkat mencapai 98 orang (kerugian negara sekitar Rp 1.998.921.096.038) 4.3 Strategi Perbaikan Kinerja Pengelolaan Keuangan Negara di Daerah Untuk meminimalisir penyimpangan yang terjadi sekaligus memperbaiki kinerja aparat dalam pengelolaan keuangan negara di daerah, maka perlu dikembangkan strategi yang memungkinkan pengelolaan tersebut lebih baik. Korupsi adalah tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Sejak Orde Baru hingga sekarang, berbagai survai menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat korupsi yang tinggi di dunia. Situasi ini disadari sepenuhnya oleh wakil rakyat dan juga pemerintah di era Reformasi. Undang-undang antikorupsi ditetapkan melalui UU 5/1999, yang kemudian disempurnakan dengan keluarnya UU 20/2001 belum terlihat pengaruhnya. Keberadaan UU antikorupsi ini harusnya menjadi pelecut bagi perbaikan kinerja pengelolaan keuangan negara termasuk di daerah, sehingga penyimpangan pengelolaan dapat diminimalisir, kesejahteraan rakyat dapat ditingkat dan putra-putra terbaik bangsa tidak tersandera oleh kasus korupsi. Berbagai penindakan yang dilakukan oleh kejaksaan dan KPK terhadap penyimpangan pengelolaan cukup menjadi bukti bahkan kinerja pengelolaan keuangan negara terutama di daerah belum berjalan dengan baik. Dalam penelitian ini, data putusan MA banyak yang digunakan (DPD, 2011), mengingat pada kasus-kasus korupsi selalu dilakukan proses banding dan kasasi hingga ke tingkat MA. Memang banyak data yang dapat diperoleh terkait dengan korupsi atau penyimpangan pengelolaan keuangan negara di Indonesia, namun sebelum kasus tersebut diputuskan oleh MA, maka status hukum dari suatu kasus belum bisa dipastikan. Semua kasus korupsi tersebut baik sudah maupun belum diputuskan tidak akan terjadi bila dikembangkan strategi perbaikan kinerja pengelolaan keuangan negara di daerah yang melibatkan peran aktif semua penyelenggara negara dan masyarakat di daerah. Gambar 3 menyajikan rumusan prioritas strategi perbaikan kinerja tersebut di daerah. Gambar 3. Prioritas strategi perbaikan kinerja pengelolaan keuangan negara di daerah Berdasarkan Gambar 3, strategi compulsory atau wajib menjalankan reformasi birokrasi dengan target jelas merupakan strategi prioritas pertama (RK = 0,245) yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan keuangan negara di daerah. Hal ini dapat dipahami karena bila birokrasi yang memungkinkan terjadi penyimpangan tidak benahi, maka semua perangkat pendukungnya tidak akan jalan. Hasil analisis tersebut bisa dipercaya karena mempunyai inconsistency < 0,1, yaitu 0,03. Rekomendasi BPK (2012) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kualitas layanan publik dengan akuntabilitas manajerial dan akuntabilitas publik yang baik, maka instansi pemerintah perlu melaksanakan reformasi birokrasi yang terintegrasi dengan reformasi perencanaan dan keuangan, melalui suatu program perubahan yang terkelola dengan baik (change management). Strategi prioritas pertama tersebut juga sejalan dengan yang dicontohkan oleh Kemenpan dalam Grand Design dan Road Map dengan 8 (delapan) area perubahan yang menekankan perubahan dimulai dari perbaikan mekanisme kerja. Strategi prioritas kedua (pengembangan SDM) dan ketiga (manajemen kontrol) dapat menjadi mendukung utama strategi reformasi birokrasi bagi peningkatan kinerja pengelolaan keuangan negara. Pengembangan SDM (RK = 0,207) dapat diarahkan sesuai dengan sistem dan mekanisme kerja dari birokrasi yang baru. Sedangkan manajemen kontrol (RK=0,161) dapat menjadi alat kendali dan evaluasi apakah SDM pengelolaan keuangan negara di daerah telah bekerja sesuai dengan mekanisme kerja dari birokasi yang baru atau tidak. Hal ini terus dilakukan, sehingga benar-benar terjadi perbaikan kinerja pengelolaan keuangan negara di daerah dan korupsi tidak terjadi lagi. Secara periodik, strategi kampanye publik (RK = 0,147) dapat dilakukan untuk transpansi pengelolaan keuangan negara, mendapat dukungan, dan koreksi dari masyarakat sebagai auditor eksternal yang informal di daerah (Richard, 2012). Tiga strategi lainnya (benefit management, teknologi, dan aksi bisnis) dapat dilakukan setelah empat strategi tadi terlaksana dengan baik, guna penyempurnaan dan perbaikan kinerja pengelolaan keuangan negara yang lebih optimal di daerah. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dilakukan, maka dapat disimpulkan : 1. Alokasi APBN untuk belanja daerah berkisar 30% s.d. 33% setiap tahunnya. Untuk tahun 2011, alokasi tersebut mencapai Rp. 412.507,9 milyar atau sebesar 31% dari total Belanja Negara. Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam pengelolaan kewenangan negara hanya sekitar 3,22 % (masih banyak penyimpangan). 2. Hubungan jumlah penindakan (JT) dengan jumlah uang negara yang terselamatkan (NUT) dirumuskan dengan NUT = 193230529,166JT + 89740959,026 untuk penindakan kejaksaan dan NUT = 70776704212,589JT + 8599940548142,513 untuk peningkatan KPK. Penindakan kejaksaaan sudah terasa dampaknya (sig =0,00), sedangkan peningkatan KPK belum (sig >0,05, yaitu 0,770). 3. Strategi prioritas untuk perbaikan kinerja pengelolaan keuangan negara di daerah adalah compulsory atau wajib menjalankan reformasi birokrasi dengan jelas target jelas (RK = 0,245 pada inconsistency terpercaya 0,03). 5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan yang dilakukan dapat disarankan : Kinerja KPK dalam penindakan kasus korupsi perlu ditingkatkan lagi, sehingga keberadaannya lebih terasa dalam mengungkap penyimpangan pengelolaan keuangan negara yang lebih besar. Dalam implementasinya, strategi reformsi birokrasi perlu ditopang oleh strategi pendukung seperti strategi pengembangan SDM, manajemen kontrol, dan kampanye publik. DAFTAR PUSTAKA Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK). 2012. Hasil Pemeriksaan BPK Semester II Tahun 2011. BPK RI. Jakarta Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD). 2011. Peningkatan Efektivitas Pengawasan dan Penegakan Hukum Terkait Pengelolaan Keuangan Negara Pada Tingkat Daerah. DPD RI. Jakarta. Kementerian Keuangan RI (KEMENKEU). 2011. Data Pokok Anggaran. Kementerian Keuangan RI. Jakarta. Kementerian Keuangan RI (KEMENKEU). 2010. Penajaman Fungsi Pembinaan Badan Layanan Umum. Kementerian Keuangan RI. Jakarta. Muthaleb, A.A. 2007. Luka Lama Tercatat Kembali : Ketika Audit BPK RI Bicara Aliran APBD NAD TA 2004 dan 2005. LSM Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh. Banda Aceh. Perera, H., Cummings, L., and Chua, F. 2012. Cultural Relativity of Accounting Professionalism: Evidence from New Zealand and Samoa. Journal of Advances In Accounting. Vol 22 (1) : 138-146. Richard, G.B. 2012. External Auditors' Willingness to Rely on The Work of Internal Auditors: The Influence of Work Style and Barriers to Cooperation. Journal of Advances In Accounting. Vol 22 (1) : 11-21. Rohman, H. 2010. Akuntabilitas Penganggaran Publik Di Daerah. http://www.facebook.com/notes/public-administration-community/akuntabilitas-penganggaran-publik-di-daerah/471179858443 Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan. Bagi Para Pemimpin. PT Pusaka Binaman Pressindi, Jakarta. 270 hal. Sarwono, J. 2006. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS. Penerbit ANDI, Yogyakarta. Tao, R., Lin, J.Y., Liu, M. And Zhang, Q. 2004. Rural Taxation and Government Regulation in China. Journal of Agricultural Economics. Vol 23 (2-3) : 161-168 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Komite Pemberantasan Korupsi (KPK).